“Kya…”

Panggilan itu meluncur dari mulut Fei, pelan dan perlahan, tetapi diucapkan dengan pasti. Lebih dari cukup untuk memecah keheningan stasiun MRT di larut malam itu. Lebih dari cukup untuk mengagetkan perempuan dengan sepasang bola mata hitam dominan.

Perempuan itu terhenti langkahnya seketika, menatap ragu dan tak percaya ke arah Fei. Ada rasa ngeri menyelimuti perempuan itu. Juga ada rasa rindu luar biasa di sana. Dadanya terasa sesak, matanya terasa panas. Sebaliknya Fei tidak terlihat canggung, seolah sudah tahu tiga huruf itu akan menghentikan langkah perempuan itu. Namun Fei tidak ikut menghentikan langkahnya, malah mempercepat dan memperlebar ayunan kakinya, meninggalkan perempuan itu mematung. Fei bergegas masuk ke dalam kereta, duduk menghadap kaca, memandang perempuan itu. Mata mereka beradu, dan Fei menunjukkan kesukaannya pada bola mata yang hitam dominan di seberang kaca kereta. Melemparkan sebuah senyum, seolah sebuah ungkapan terimakasih. Melambaikan tangan. Kya, perempuan itu, menangkapnya sebagai salam perpisahan. Pintu kereta tertutup, kereta kemudian meluncur deras, membawa Fei ke dalam terowongan. Gelap.

Mata Kya basah, air matanya jatuh.

***

“Bu Kya…”

Kya mendengar namanya dipanggil, tetapi matanya tetap dipejamkan. Air mata mengalir perlahan melalui pelipisnya.

“Bu Kya, Anda baik-baik saja?”

Akhirnya Kya membuka matanya yang basah. Sementara wanita berpakaian putih biru membantunya bangkit.

“Tidak biasanya Anda sedih begini. Selama ini Anda selalu terlihat bahagia, senang,” wanita itu memandangnya sedih. Seolah prihatin dengan yang dialami Kya, sekalipun dia tidak mengerti.

“Terimakasih mBak Pur untuk bantuannya selama ini. Ini kunjungan terakhirku.”

“Maksudnya?”

“Aku sudah mendapatkan yang kumau.”

Kya memberikan pelukan ringan ke wanita yang masih kebingungan itu. Kemudian berjalan perlahan meninggalkan ruangan putih dengan plafond bergambar langit.

***

Tidak ada bulan malam ini. Gerimis Oktober sudah turun sejak tadi. Kya tidak berniat mengeluarkan payung dari tasnya. Selesai menuruni lima anak tangga gedung itu, dalam rinai suara lembut hujan, tangisnya pecah.

Sedih dan lega. Lega dan sedih. Kya merasa sudah memenuhi keinginan-keinginan Fei. Selama ini dia telah memprogram mimpinya sendiri menjadi seorang Fei. Lelaki yang dicintainya. Lelaki yang mengaku introvert, tetapi untuknya adalah lelaki terhangat dalam hidupnya. Lelaki pengagum John Lennon yang sering menyanyikan Woman untuknya. Lelaki yang pernah bercerita kepadanya, suatu waktu ingin mengamen dengan gitar kesukaannya di jalanan atau di taman di Eropa sana. Lelaki yang terobsesi ingin berlari jauh di negeri ini, seperti yang Forrest Gump lakukan, dan menangis ketika mengetahui lututnya retak. Lelaki yang bercerita tentang cintanya pada bintang-bintang di langit. Dan pada “diamond in the sky”. Lelaki yang tujuh bulan lalu, memaksakan mendaki Gunung Slamet seorang diri. Yang jenazahnya ditemukan setelah badai, di dasar jurang dekat puncak.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.