Mei 1989
Satu pagi di hamparan padang edelweis Alunalun Surya Kencana, Gunung Gede, dalam gerimis tipis dan kepungan kabut yang belum terangkat ke langit, sekelompok mahasiswa pecinta alam berikrar untuk tidak akan pernah memetik bunga edelweis.
Juli 2019
Edelweis-edelweis putih dengan kombinasi warna kuning terang di tengah bunganya tampak mempesona. Sekalipun abu vulkanik Gunung Slamet, sisa erupsi lima tahun lalu, tak henti menyelimutinya. Entah karena hembusan angin ataupun akibat hentakan kaki-kaki pendaki.
Ya, mendaki Gunung Slamet identik dengan abu vulkanik. Hampir seluruhnya, sepanjang jalan setapak yang terus menerus mendaki, setelah meninggalkan Desa Bambangan, begitu menyelesaikan jalan berbatu, berjalan di sisi kebun sayuran penduduk, abu sudah mulai terbang mengepul. Dan terus seperti itu, ketika memasuki barisan cemara dan hutan, dari satu pos pendakian ke pos pendakian berikutnya.
Penutup hidung dan mulut macam buff, topi atau penutup kepala lain (kalau tidak mau rambutnya macam penyanyi reggae), dan kacamata (minus danatau hitam) supaya mata tidak terlilip atau kelilipan, menjadi perlengkapan wajib. (Sebuah helm sebenarnya mampu mengganti seluruh peran itu, hanya saja tidak umum dikenakan saat mendaki gunung.)
Pos-pos pendakian menyajikan banyak hiburan menarik. Seperti di pos I Pondok Gemirung, pos II Walang, pos III Cemara, dan pos V Pondok Mata Air, tersedia bungkusan nasi uduk dengan lauk tempe dan soun goreng. Kalau bawa uang jajan lebih, bisa nambah balabala dan semangka sebagai pencuci mulut. (Tidak ditemui lokasi transaksi nasi uduk dan temantemannya di pos IV Samarantu, mungkin mengingat cerita mistis dan angkernya daerah satu ini, yang konon berasal dari kata “samar” dan “hantu”.)
Hari itu, Rabu tanggal 3, pos V menjadi andalan lokasi makan siang kami, pas jam 12, setelah 4 jam mendaki dari basecamp. (Oh ya, setelah menempuh perjalanan 5 jam kereta api malam Jakarta – Purwokerto, “mendarat” pukul 3 subuh, lanjut ke Desa Bambangan sekitar 1,5 jam. Base camp bergelimpangan dengan calon pendaki yang sedang tertidur dan mendengkur, tidak menyisakan banyak tempat untuk rebahan. Juga tidak menyisakan banyak waktu, karena rencana mendaki pagi, setelah sarapan, nasi putih telor matasapi, andalanque.)
Kombinasi nasi putih dan nasi uduk memberikan banyak tenaga untuk melewati pos VI Samyang Rangkah, dan akhirnya mencapai pos VII Samyang Jampang, tempat bermalam sebelum besok subuh summit attack. (Terimakasih kepada burung Jalakan atau Mountain Blackbird yang kerap setia menemani di beberapa jalan setapak; mematuk, melompat, berjalan, terbang saling berusik dengan rekannya.) Pukul 13:30! Tanda seru karena masih banyak banget waktu sampai besok pukul 4 subuh, bagaimana mengisinya? Tidur siang pastinya menarik, dan sepakat nanti sore, pukul 4, jalanjalan atau dakidaki ke pos IX Plawangan, batas vegetasi, menunggu sunset.
Duduk di bebatuan, mengantar senja yang akan segera berlalu, berteman angin dingin membelai wajah, edelweis oh edelweis, pandangan ke puncak yang besok akan didaki, pandangan lepas ke awan tebal dan desadesa di bawahnya. Matahari di sisi kanan di balik gunung memantulkan puncak Gunung Slamet dalam bayang segitiga raksasa yang jatuh berbaring di atas hamparan awan luas. Hmm.
Kembali ke tenda, masak untuk dinner dengan kompor jadul berbahan bakar parafin. Menunya, mie instant kuah. Itu saja. (Mari menelan sambil membayangkan nasi uduk tadi siang.) Segera setelahnya buruburu tidur, atau purapura tidur, jangan sampai lapar keburu sadar dan datang menghantui.
Langit gelap masih bertabur bintang, pukul 4 subuh, saatnya muncak. Setelah mencapai batas vegetasi, selebihnya tanpa tanaman sama sekali, yang ada hanya batu, kerikil, pasir, dan abu. Sudut mendaki empat puluh lima derajat memudahkan abu, pasir dan kerikil, juga terkadang batu sebesar kepala, bergulir ke bawah saat diinjak. Merangkak bukan hal tabu kalau terpaksa, sekaligus menunjukkan kecilnya dan lemahnya kita kepada puncak Surono, puncaknya Gunung Slamet.
Gelap langit berganti lembayung ketika matahari pagi mulai tampak. Puncak-puncak Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Gunung Merbabu mencuat muncul di kejauhan di balik awan. Hampir dua jam pendakian, sebelum pukul 6 pagi, kaki-kaki kami akhirnya mencapai puncak Slamet, berbaur dengan ratusan pendaki lain.
Menikmati ketinggian, memandang matahari yang terus bergerak naik, memandang dari jauh kawah besar yang mengeluarkan asap belerangnya, pendaki-pendaki yang tampak kecil di sisi puncak lainnya, barisan gunung-gunung laksana lukisan, lautan awan bergulung-gulung di bawah sana, dan awan-awan berbentuk unik di atas kepala.
Saatnya turun, saatnya sarapan pagi. Meluncur turun, bukan hal mudah, ingat sudut empat puluh lima derajat dan abu pasir kerikil batu yang siap longsor ke bawah setiap waktu saat diinjak. Membereskan bawaan di pos VII, dan segera bergerak ke pos V. (Nasi uduk, I’m coming!) Urusan turun gunung, umumnya selalu menggoda untuk segera tiba di bawah, meluncur dari pos satu ke pos satunya lagi tanpa banyak istirahat. Ingin segera ke base camp. Juga ingin segera pulang ke rumah. Home sweet home.
Mengejar jadwal kereta api sore kembali ke Jakarta, ternyata berhasil. Jadwalnya. Tapi tidak dengan harga tiketnya. Satu juta rupiah! What?! Karena beli dadakan? Pun untuk yang tengah malam? Saya tidak mampu mencerna, saya tidak mampu mengerti, saya tidak mampu berpikir. Saya menyerah, kalah dengan KAI. Ongkos bis malam jauh lebih manusiawi, sepersepuluhnya. Walaupun akhirnya harus mengarungi 11 jam perjalanan, meleset dari jadwal 6 jam, akibat macet toll yang belum kunjung tuntas. (Simpati untuk supir-supir bis, supir-supir truk besar, supir-supir truk kecil, supir-supir malam lainnya, yang melintas, yang harus bertarung dengan malam dengan macet dengan lelah. Salim.)
“Sometimes you will never know the value of a moment until it becomes a memory.” ~ Dr. Seuss
NH