“Nicky, you are called,” si sherpa muda menghampiriku di luar penginapan Ramechhap, mengusik hirupan dingin malam dan sebatang Marlboro putih selepas makan malam. Aku melangkah masuk, seraya berpikir, mungkin ada briefing dari guide mengenai rencana perjalanan besok, hari pertama pendakian Everest Base Camp. Ruangan makan gelap, dan tiba-tiba, nyanyian “Happy birthday to you…”, kue ulang tahun, lilin-lilin, dan balon-balon berserakan di meja makan.

“What a surprise!” Namaste, terimakasih untuk kejutan dari Mingma C. Sherpa dan Sherpa Himalaya, Treks and Expedition Pvt Ltd.

“Again?”, itu yang terlontar singkat dari mulutku. Ya, setelah tadi subuh juga mendapat kejutan teman-teman seperjalanan, dibangunkan selepas pukul 00.00 di penginapan di Bangkok, kota transit semalam kami, dari Jakarta ke Kathmandu. Terimakasih.

Tiba siang dan tidak banyak waktu di Kathmandu, belanja sekilas kekurangan perlengkapan, menarik uang lokal di ATM, mencari SIM card lokal, membongkar dan memindahkan seluruh keperluan pendakian ke tas yang disediakan, dan makan sore pengganjal perut.

Perlu empat jam lebih perjalanan mobil ke Ramechhap, naik turun bukit berkelok dengan pemandangan jurang free fall di sisi kiri kendaraan. Apa boleh buat, bandara Kathmandu sementara waktu tidak untuk penerbangan lokal ke Lukla, desa tempat dimulainya pendakian, hanya tersedia dari bandara Manthali, Ramechhap. Kecuali berani keluar dana lebih, mencarter helikopter.

By the way, bagaimana perjalanan waktumu, Birthday Boy? Limapuluhsatu tahun! Semoga menyenangkan. Good nite, besok petualangan barumu sudah menanti…

***

Dalam sehari, rata-rata bisa mencapai lebih dari 50 penerbangan pesawat baling-baling pulang pergi ke Lukla (2.800 mdpl) di musim ramai pendakian seperti saat ini, Oktober dan November. Itupun hanya terbatas penerbangan sebelum tengah hari, tidak ada penerbangan setelahnya, mengingat kondisi cuaca, risiko. Bandara Tenzin Hillary, Lukla memang terkenal sebagai “one of the most dangerous airport in the world”, dengan landasan yang letaknya di bibir tebing dan panjang landas pacu dan pendaratan yang pendek, bertemu dinding tebing di ujung satunya.

Mendarat mulus, “Welcome to Lukla!”

Istirahat sejenak, dan pendakian pertama dimulai, pukul 10:30. Kondisi jalur pendakian ramai dengan pendaki dari berbagai belahan dunia, dari bahasa-bahasa asing yang sempat terdengar, US Australia UK Jerman Belanda EropaTimur Japan Korea Tiongkok Iran Malaysia.

Peak season macam ini juga menambah ramai naik turun penduduk lokal yang berprofesi sebagai porter, plus rombongan zopke-zopke, yak-yak dan keledai-keledai yang membawa beban berat di punggungnya. (Tas berisi seluruh perlengkapan kami juga dibawa oleh porter, masing-masing dua tas per porter, minimal 30 kilogram.)

Melintasi stupa-stupa, lonceng besar yang (sebaiknya) diputar setiap kali dilewati (“purify your soul”), batu-batu besar bertuliskan banyak “aum mani padme hum” yang (sebaiknya) dilalui di sisi kiri arah jalan.

Phakding (2.652 mdpl) adalah tujuan bermalam pertama kami. Sebuah hotel, atau tepatnya lodge (kamar ukuran paspasan dengan dua ranjang dan, ya, hanya itu, dua ranjang), bangunan yang indah dan nyaman, seolah di Eropa. Tea time, masih sore, di teras luarnya, cuaca belum terlalu dingin, sambil memandang lalu lalang para pendaki, porter dan zopke.

Dan seporsi steak yak untuk makan malam. Enak. Alot.

***

Suguhan pemandangan indah mulai terbentang sepanjang jalan di hari pendakian kedua. Puncak-puncak gunung es, milky river, jembatan gantung, air terjun, bentang alam, lembah dan jurang, yang merupakan bagian dari Sagarmatha National Park.

Umumnya, perjalanan harian dimulai pukul 8:00 pagi, setelah sarapan oat meal porridge atau roti tawar atau telur ayam atau nasi goreng maupun lainnya, tinggal pesan. Menempuh sekitar tiga setengah hingga empat jam, untuk istirahat dan makan siang di resto tengah jalan. Menu, hampir sama selama perjalanan, dan yang terpesan umumnya nasi putih, nasi goreng, mie kuah, mie goreng, pizza, spaghetti, sayuran rebus, steak yak. Tinggal menambah lauk bawaan dari negeri sendiri. (Plus tidak ketinggalan, cabe rawit cengek Nepal yang pedasnya bikin kepala gatal seketika.)

Perjalanan cepat 3 jam, makan siang di ketinggian 3.000 mdpl, rute selanjutnya adalah pendakian menuju Namche Bazar (3.440 mdpl).

Menjelang pukul 15:00 Namche Bazar, dengan atap-atap rumahnya yang khas, warna-warni, terlihat. Sebuah desa, atau mungkin layak disebut kota kecil, di tengah pegunungan, ramai, dengan fasilitas toko-toko perlengkapan pendakian, toko makanan dan minuman, kios tiket pesawat, ATM, laundry, hair washing, cafe, billiard, lengkap dengan musik ingar bingarnya, rock, yeaahhh!

Menjadi tambah nyaman karena di sini bisa bersantai, dua malam. Besok adalah aklimatisasi, proses penyesuaian tubuh terhadap suhu dan kadar oksigen di udara pada dataran tinggi, istirahat dan tidak mendaki ke titik berikutnya. Tetapi, tekhniknya, tetap diperlukan mendaki “sedikit” untuk turun kembali ke penginapan.

***

Pagi yang cerah, tidak terlalu dingin, saatnya jalan-jalan mendaki, saatnya foto-foto banyak. Pemandangan Namche Bazar yang khas dari atas bukit, setelah mendaki jalan berbatu.

Selanjutnya hamparan bukit lapang, 3.775 mdpl, berkali-kali helikopter terbang kian kemari. (Helikopter carteran untuk pendaki berkantong tebal, baik yang mau naik maupun turun, ke atas ataupun ke bawah, enaknya.) Pemandangan dalam terik matahari dan angin sejuk membuat betah berlama-lama, seolah setiap titik layak untuk diabadikan, hingga terlambat mencapai titik tujuan, Hotel Everest View, 3.880 mdpl. Kabut sudah menutup Puncak Everest, pukul 12 siang lewat.

Saatnya turun kembali ke penginapan, makan siang, dan istirahat sambil menunggu makan malam. Mewah. Maksudnya karena bisa istirahat siang, entah mau shopping, keramas, ngopi ataupun meringkuk dalam selimut tebal di dalam kamar. Makan malam, menu nasi putih, mie kuah Korea, dan mie goreng. Rawit Nepal pastinya. Ada yang salah tampaknya. Full carbo.

***

Perjalanan ke Tyangboche, diawali jalan datar, melingkar-lingkar melewati lereng-lereng gunung. Kembali pemandangan alam terbentang, dengan beberapa titik tikungan lereng berdiri megah stupa. Beberapa titik menyajikan pemandangan yang sulit diungkap dengan kata-kata. (Kata-kata memang tak akan pernah sanggup mengungkapkannya, paduan warna-warni, langit awan gunung, bukit lembah jurang, jembatan sungai air, manusia hewan tanaman, mata telinga hidung.)

Jalan kemudian menurun menuju sungai, tempat makan siang, river side. Kepala mulai bingung untuk menu, pilihan kembali ke mie kuah Korea dan nasi putih. Plus cabe rawit yang horror itu. Ada turunan, ada tanjakan. Itu menu setelah makan siang. Lumayan, kombinasi dari mie-nasi-cabe, cukup untuk mengangkat tubuh hingga ke ketinggian 3.876 mdpl, Tyangboche!

Sebuah gerbang warna-warni di sisi kiri lodge berdiri megah. Di sampingnya tampak indah Tyangboche Monastery. Sebuah gerbang lain, yang disusun dari banyak batu menyerupai gerbang, mengingatkan foto delapan tahun lalu. Masih sama, plus papan tulisan kecil “Way to Namche”, hanya saja tanpa ketiga jagoanku, (Miss You, Guys!) Perjalanan Sang Waktu…

***

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.