Aku selalu ingin menangkapnya lebih dahulu. Alarm rutin pukul 06:00, tetapi aku selalu bangun sebelum dia berbunyi, sekedar keluar penginapan menyaksikan waktu berjalan.



Dingboche, adalah tujuan hari kelima, 4,410 mdpl. Menurun dalam hutan rindang, melewati jalan bebatuan yang tengah diperbaiki, melintas jembatan gantung tinggi dengan aliran sungai deras di bawahnya, mendekati sebuah stupa besar, dengan lukisan Budha’s Eyes yang menatap ke semua arah.










Angin dingin lereng membelai pipi, suara aliran sungai meliuk-liuk di telinga, tanaman warna-warni memanjakan mata, dan puncak Ama Dablam bersalju kokoh berdiri. Sekali lagi, sebuah lukisan tanpa perlu kata-kata.












Dataran lembah luas dan panjang menyambut, angin dingin tidak lagi membelai, kali ini lebih tepatnya menampar.








Sampai akhirnya terlihat sebuah stupa besar di sisi kiri serta deretan bangunan beratap biru dan merah di sisi kanan. Bisa jadi itulah desa tertinggi dan terakhir di jalur sepanjang EBC, dengan warga pemukimnya.


Sekali lagi waktunya aklimatisasi, menginap dua malam, dan besok kembali acara “climb high sleep low”.

Selesai makan malam (termasuk garlic soup yang dipercaya baik untuk ketinggian, mencegah altitude mountain sickness), menjelang tidur, udara tipis mulai kian terasa.
Malam menjadi sesak, bernapas adalah perjuangan, tarikan dan hembusan hanya mampu satu dua, pendek. Malam yang menyiksa, terbangun di tengah tidur, mencoba rebah dan duduk. Berulang-ulang. Detik terus bergulir, namun waktu seolah tak berjalan, menunggu kematian. Seolah begitu dekat dengannya.
“Mengenang masa kecil, membayangkan kematian, menyesali keangkuhan, mensyukuri kerendahhatian, mengingat Sang Pencipta, melafalkan Bapa Kami…”
***
Pagi ini, target aklimatisasi adalah mendaki sekitar tiga jam untuk kembali turun. Benar-benar mendaki, empat puluh lima derajat, hingga ke 4.800 mdpl. Sementara Ama Dablam tetap berdiri kokoh menyaksikan.









Sebelum jam 11, setelah 3 jam mendaki, kami turun kembali. Aklimatisasinya cukup, not bad. Angin bertiup membawa butiran halus salju, jatuh menempel di jaket. Aku menengadah membuka mulut, menikmatinya.
Makan siang dan dilanjutkan dengan berpindah ke Cafe 4410. Kafe yang menggunakan nama sesuai ketinggian, hangat dengan segelas baileys cappuccino.


Sebuah film tentang Everest diputar, acara nobar di cafe tersebut. Aku tahu sebagian besar cerita tentang Everest adalah cerita tentang tragedi, tentang kesedihan, tentang kematian. Mungkin itulah Everest, seperti kata Mingma Sherpa, setiap kali dia mengikat tali sepatunya menuju puncak, “I never know, whether I will come back or not.” Atau kalimat yang pernah kubaca, delapan tahun lalu ketika pertama kali ke sini. “Everest, it’ll bring tears in your eyes and then freeze them to your face.” Aku memilih kembali ke penginapan, dan sebuah tidur sore. Perjalanan masih panjang.
Makan malam, dan tidak seperti kemarin, berhasil tidur dengan napas yang lebih baik, melupakan “altitude can kill you”. Sambil membayangkan, benarkah besok akan turun salju?
***



Alarm 06:00 belum berbunyi, aku mengintip keluar jendela kamar. Putih. Salju. Hanya putih dan hitam. Tak ada warna lain.
Salju masih turun perlahan, ketika kami mulai menyusuri lembah panjang dengan tumbuh-tumbuhan rendah, puncak-puncak gunung es dalam warna dan bayang terindahnya, menghadirkan dua nuansa dunia berbeda.

















Sebelum akhirnya dikepung kabut tebal, memasuki jalan bebatuan, turun menyeberangi sepotong jembatan pendek, mendaki kembali untuk makan siang di sebuah perhentian. Tanpa selera, butuh kehangatan, hanya ingin segera mencapai titik berikutnya, Lobuche.

Menanjak dan terus menanjak, dan ujung atasnya adalah Everest Climbers Memorial, sebuah lokasi tempat mengenang para pendaki dan sherpa yang meninggal dunia di kawasan Pegunungan Himalaya. Batu monumen berbagai bentuk, dimana-mana, begitu banyak. Dingin, putih dan berkabut. Nuansa kesedihan terasa.
Beberapa tulisan di antaranya terbaca, kematian justru menjemput ketika perjalanan turun setelah mencapai puncak. Atau separuhnya malah, mungkin. (“Apakah ketika setelah mencapai puncak, eforia kebahagiaan membuat kita tidak lagi hati-hati, ataukah capaian tertinggi hidup seolah membuat kita tidak butuh lagi sebuah kehidupan? Entahlah.”)


Kembali menyusuri lembah panjang, datar, dengan aliran air kali kecil di sampingnya. Hingga akhirnya terlihat beberapa deretan tempat menginap di kejauhan. Lega. Lobuche, 4.910 mdpl.


Dingin sore, dan tetes salju yang cair telah membeku kembali.
***
Dingin pagi, dan tetes salju yang cair telah membeku kembali.


Inilah hari terakhir. The last push. Tujuan pertama adalah Gorak Shep (5.170 mdpl), tempat makan siang, dan setelahnya baru lanjut ke akhir pendakian.




Dan Everest Base Camp!






Yang ditandai dengan bendera-bendera kecil warna-warni yang berkibar-kibar dan sebuah batu besar yang ditulis merah, “Everest Base Camp 5364m”. Hanya itu.
Yang akibat lapisan batu dan es di bawahnya, satu dua tahun lagi mungkin bergeser dan berpindah tempat. Waktu Terus Berjalan…


NH22102019