“Mereka tahu?”
Siapa?
“Teman-temanmu.”
Tahu apa?
“Tentang kita.”
Tentang kita?
“Tentang cerita kita dulu.”
Tidak, kurasa.
“Darimana kau tahu?”
Siapa pula yang cerita.
“Kau tidak pernah cerita?”
Aku bukan pencerita.
“Kenapa?”
Aku bukan pencerita, kau tahu.
“Tapi kau banyak berubah sekarang.”
Maksudmu?
“Kau jadi pencerita.”
Maksudmu?
“Kau jadi penulis.”
Hanya mengisi waktu.
“Tidak, tulisanmu tidak seperti itu.”
Lalu harus bagaimana?
“Kau menjadi pencerita.”
Hanya sekedar menulis.
“Menulis membuatmu menjadi pencerita.”
Aku tak pernah memikirkannya.
“Pernah terpikir menulis tentang kita?”
Tidak.
“Tidak apa?”
Tidak terpikir.
“Kenapa?”
Mungkin, mungkin satu saat saja nanti.
“Berarti kamu berencana?”
Aku tak tahu.
“Apa yang akan kau tulis?”
Tulis apa?
“Tentang kita.”
Mungkin begini. Aku akan menulis tentang dua anak sekolah yang saling berkirim dan berbalas surat. Si gadis menitipkan surat lewat teman perempuannya, yang lalu menyampaikan surat ke si bujang lewat teman lelakinya. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga akhirnya rantai surat itu terputus. Si gadis dan si bujang tidak lagi bersuratan. Tidak bisa dikatakan putus cinta juga, karena di antara mereka tidak pernah saling mengutarakan cinta. Dan rahasia isi surat mereka, hanya mereka berdua saja yang tahu. Sedangkan soal surat, hanya kedua teman mereka yang tahu. Kedua teman yang akhirnya malah berpacaran dan menikah.
“Aku si gadis?”
Tidak, kamu adalah sang pengantar surat, teman si gadis.
“Tetapi ceritanya kan tidak seperti itu.”
Lalu?
“Akulah di gadis, kenapa mesti kau belokkan ceritanya?”
Aku mau menulis cerita dengan akhir bahagia.
“Maksudmu?”
Aku tak mau ceritanya berakhir tragis.
“Kenapa kau berpikir itu tragis? Karena kenyataannya kau menikah dengan temanku sang pengantar surat, dan bukan dengan aku? Kenapa ukuran bahagia dan tragismu sama halnya seperti akhir buku dongeng dan novel picisan? Sang pangeran dan puteri jelita hidup bahagia selama-lamanya, begitu. Apa salahnya dengan akhir tragis, kalaupun kau sebut itu tragis? Dengan menikah, kau pikir hidupmu lebih bahagia daripada aku yang tidak menikah? Apakah semua penulis seperti itu, berhak memutarbalikkan segala sesuatu, sesuai egonya?”
Kau marah?
“Tidak.”
Tidak, kau marah.
“Apa hakku marah?”
Marah sebagai pembaca.
“Hak pembaca?”
Marah sebagai subyek tulisanku.
“Apa lagi?”
Apa katamu tadi?
“Yang mana?”
Memutarbalikkan segala sesuatu?
“Ya.”
Karena hanya melalui tulisan, aku bisa melakukannya. Terlalu banyak yang ada di kepala. Juga dalam hati. Sesuatu yang melayang-layang mengganggu dan seolah akan meledak. Di sanalah, di tulisan-tulisan, dapat kutumpahkan semua itu. Kadang aku berpikir menyesal menjadi penulis. Sungguh. Panggilan yang menjadi belenggu. Semua yang ada di depan mata, di kepala dan dada seolah dipaksa harus dituliskan, padahal tidak semua boleh dituliskan, patut dituliskan. Dan aku hanya mampu berlindung di antara pemutarbalikan itu, istilah yang kau pakai tadi.
“Begitukah?”
Ya.
“Kau terdengar tidak bahagia.”
Terdengar tidak bahagia atau tidak terdengar bahagia?
“Salah satunya?”
Mungkin begitu.
“Apakah semua penulis begitu?”
Begitu apa?
“Tidak bahagia.”
Aku tak tahu.
“Lalu bagaimana?”
Bagaimana apa?
“Memahamimu, penulis?”
NH