“Follow the big money. Whose big money, anyway?”
Zaman dahulu (gak dahulu dahulu banget sih, sengaja dibuat hiperbola ajah), pelaku pasar saham terbiasa dengan istilah “Asing menguasai pasar kita”. Asing beli kita ikut beli, asing jual kita ikut jual, walaupun sering ketinggalan kereta. Pengekor dan mengenaskan, kan?
Saya mafhum. Dan memberontak. Terbitlah tulisan pertama dari semesta tulisan-tulisan berikutnya, “Merdeka!!” (Buku ‘Yuk Nabung Saham, Selamat Datang Investor Indonesia’, hal. 7) pada 18 Agustus 2015. Saat itu, enampuluhempat persen saham yang ada di BEI dimiliki oleh investor asing. Istilah ‘asing menguasai’ menjadi valid. Zaman itu.
Detik berganti menit berganti jam berganti hari berganti minggu berganti bulan berganti tahun.
“Mengajak Perang, Pak?” (Buku ‘Simple Stories for a Simple Investor’ hal. 16) ditulis 26 Mei 2018, menunjukkan kepemilikan asing yang 64% itu sudah drop menjadi 48,62%! Artinya, masa “Asing menguasai pasar kita” sudah selesai! Sejak satusetengahtahun lalu! Saya tidak punya data termutakhir, tetapi saya yakin kita kini sudah menjadi tuan rumah di negara sendiri. (Tidak perlu sok nasionalis, Cky, anggap saja fifty-fifty. All right.)
Satu lagi informasi, Saudara Sebangsa Setanahair, bertahuntahun, pun ketika asing menguasai mayoritas di awal tulisan tadi, transaksi saham harian tuh tetap lebih didominasi oleh investor lokal. Bukalah Twitter IDX, sepanjang 2019 sampai Oktober kemarin, trading value by investor type, 68% Domestic. Rajinrajinlah membuka dan membaca.
Jadi, minggu lalu di sore yang adem di kedai kopi di Gatot Soebroto, ketika seorang teman menyodorkan postingan atau analisis para pelaku atau penggiat atau analis saham yang mengatakan pasar saham masih terpengaruh investor asing, tergantung investor asing, wait and see investor asing, blablabla asing asing, saya langsung terduduk lemas. Memandang nanar keluar jendela kaca, menyaksikan seekor brontosaurus sedang mengejar-ngejar kawanan t-rex yang terbirit-birit. Ampuunnn.
Kita selalu punya alasan untuk mengatakan ini-dan-itu, namun ketika alasan kita ternyata sesat, kasihan atuh si t-rex.
NH