Langit masih terang. Hujan tipis turun perlahan. Pandanganku ke atas terasa kabur, entah kenapa gumpalan awan putih seolah terus bergerak menjauhiku.

Perbincangan kami melompat dari satu topik ke topik lainnya. Dari sejarah Aceh ke konflik berkepanjangan hingga ke tsunami lima belas tahun lalu. Dari gadget anak-anak sekarang ke cerita lelarian hingga pasar saham. Dari sembahyang lima waktu ke keberagaman hingga ke mati syahid. Dan sepotong kalimat yang akan selalu kuingat, “Kita hanya menyampaikan…”.

Etape ketiga dari empat etape RunToCare Aceh 250K, Meulaboh – Banda Aceh, memasuki senja. Sekitar 20K lebih tersisa dan hujan yang mulai turun tidak menahanku tadi untuk berteduh lama di water station KM170. Aku mencintai hujan, terlebih lebat. Lagipula menunggu lebih lama hanya akan berarti tiba semakin larut, tengah malam, di Kantor Kecamatan Lhoong, akhir etape sepanjang 74K ini. Masih akan ada sebuah bukit, bagian dari Gunung Geurutee, menanti di depan. Pendakian lebih dari 250 meter tingkat elevasi, rawan longsor saat hujan, jalan sempit hanya paspasan untuk dua kendaraan mobil, tanpa bahu jalan memadai untuk berjalan, dengan bibir jurang di sisi kiri dan dinding tebing di sisi kanan. (Kondisi plus cerita angker, yang mungkin memicu kekhawatiran Pak Dokter yang memandang ragu, seolah menawarkan untuk evakuasi saja di kaki bukit, di awal pendakian. “Terimakasih Dok.”)

“I know my body can do it. I just hope my head can.”


Senin, 18 November 2019, pukul 07 pagi, Bupati Aceh Barat hadir melepas kami di depan pendopo SOS Children’s Village Meulaboh. Mantan panglima GAM yang menyampaikan pesan tentang persatuan dan keberagaman, berbaur dengan anak-anak dan ibu-ibu asuh yang berdiri di kiri kanan garis start di halaman luas. Juga teman-teman lari dari PT Mifa Bersaudara yang bergantian tanpa putus menemani sepanjang perjalanan empat hari ke depan, sejak etape pertama ini.

Selepas Kota Meulaboh, panas terik matahari mulai terasa membakar kulit. Terimakasih untuk jalan aspal mulus, dengan bahu jalan “mewah” selebar lebih dari satu meter. Jalanan lurus, dengan pemandangan kawanan lembu di sisi dan tengah jalan raya, dengan langkah yang kadang harus sedikit bermanuver menghindarinya, dan terutama kotorannya.

Tigapuluh kilometer pertama, istirahat makan siang, dan tigapuluh kilometer berikutnya berjalan mulus sesuai rencana. Sore menjelang malam, dengan pelangi ganda indah di langit jingga pucat, menyambut akhir etape pertama, di Kantor Kecamatan Teunom.

“Only those who will risk going too far can possibly find out how far one can go.”


Panas terik yang sama menemani sepanjang jalan di hari kedua, selepas start di kantor kecamatan, tempat kami berhenti di akhir etape pertama kemarin. Tetap dengan aspal mulus lurus, bahu jalan mewah, dan lembu-lembu cuek.

Di tengah perjalanan, Calang, disambut Bupati Aceh Jaya, lengkap dengan seluruh pimpinan perangkat daerah, di pendoponya yang luas dan indah, sedikit di atas bukit. Dijamu makan siang nikmat, ramah tamah dan silaturahmi, serta cerita tentang trauma konflik dan trauma tsunami yang tersisa, sebelum kami melanjutkan kembali sisa perjalanan.

Menjelang sore, hujan perlahan turun, semakin lama semakin deras, dan deras. Diiringi suara petir menyambar berkali-kali. Di antara rasa senang, dalam hati bertanya-tanya, amankah? Terkadang secara refleks, aku berlari sedikit menunduk. Malam jatuh dan hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti. Kami memutuskan berhenti di KM120, di lokasi sebuah rumah makan. Menyisakan 5K dari rencana awal 65K, untuk dibayar besok di etape ketiga.

“Ultra runners like to talk about conquering the mountains. It’s you versus the mountain, they say. But the mountain is unmoved. It stands serena, impassive. The mountain isn’t fighting back. We could just as easily lie down together and be friends.” ~ Adharanand Finn


Etape ketiga bakal menjadi etape tersulit. Menutup kekurangan lima kilometer etape sehari sebelumnya, menggenapkan ke angka 74K demi mencapai Lhoong, kantor kecamatan, tempat kami menginap.

Beranjak sebelum pukul 07 pagi, matahari sudah mulai tampak. Perlahan meninggi dan kembali memanggang. Dan terus memanggang hingga sore sebelum hujan kembali turun. (Sekarang kamu tahu kenapa aku mencintai hujan lebat, bukan?)

Hanya saja hujan yang diharapkan tidak turun selebat sehari sebelumnya. Membasahi aspal tidak lama, seolah hanya untuk memantulkan kembali panas bumi ke tubuh, dan itu sungguh menyiksa. Perbincangan multi topik sepanjang jalan, sore sebelum pendakian, menjadi penawar lelah dan pengusir kantuk. (Terimakasih, Bang!) Selanjutnya, mendaki terjal dan menurun panjang bukit Geurutee dalam diam dan gelap, serta menempuh jalan aspal, yang sekarang naikturun berkelokkelok tanpa ujung, sebelum akhirnya memasuki akhir etape ketiga. Aula besar kantor kecamatan, dengan hamparan veldbed, lebih dari cukup untuk beristirahat. Lelah. Lapar. Mengantuk. Kondisi fisik dan mental dihantam ke level terendahnya.

“If happiness wasn’t in comfort, was it somehow to be found in being uncomfortable? Was there some need for those of us with no suffering in our lives, to find some? Because it made us appreciate our homes and our comforts more? Or did suffering a little somehow make us stronger, more fulfilled human beings?” ~ Adharanand Finn


Inilah potongan akhir perjalanan, menggenapkan 250K. Sejak pagi, teman-teman lari dari PT Mifa Bersaudara sudah bersiap, termasuk manajemen tingkat atasnya. (“Terimakasih dan salam hormat kami”, Aku tidak pernah menemukan dukungan seraksasa ini sebelumnya.) Beberapa teman lari dari Banda Aceh juga sudah bergabung sejak subuh. Pagi itu, “Indonesia Raya” mempersatukan kami, mengharukan kami, menyemangati kami.

Membawa kami, pagi hingga siang hari menempuh kembali naik turun dua bukit yang lebih rendah. Sore sebelum malam turun, memasuki kota Banda Aceh, kembali bergabung teman-teman Indo Runners Banda Aceh. Berlari dengan kaki-kaki lecet terpincang-pincang, menyusur sepotong sisi kota, berbelok ke kiri memasuki jalan kecil beraspal tak rata, anak-anak yang menunggu ikut berlari bergandengan dengan para pelari, teriakan bahagia berulang “SOS”, ibu-ibu asuh tak henti bertepuk tangan, anak-anak perempuan dan anak-anak lelaki mungil berdandan dalam kostum cantik dan gagah di atas karpet biru, menari dan menyambut, tabuhan genderang nyaring, ratusan orang berbaur, pelukan, lega, bahagia, tangis, dan airmata.

SOS Children’s Village Banda Aceh, andai kau di sana!


“Everyone after a certain point, has his own definition of success or failure.”

Terlibat charity run kesekian, sekali ini membawa banyak hal baru, pelajaran baru. Meulaboh dan sepanjang pesisir pantai barat Samudra Hindia hingga ke Banda Aceh, indahnya dan panasnya. Masyarakat yang ramah dan tidak sama sekali perlu dikhawatirkan seperti cerita luar sana. Lelarian etape per etape, ukuran ultra marathon selama empat hari, pagi hingga malam larut.

Dan terutama, sekali lagi pengalaman “mengemis” donasi, pelajaran paling berharga darinya. Belajar untuk tidak perlu membawa perasaan. Tidak perlu tidak percaya dengan penolakan, tidak perlu marah dan sakit hati, tidak perlu sedih dan patah hati. Belajar melompat saja langsung ke tahapan akhir proses dalam menghadapi sebuah kenyataan; tahapan berserah, tahapan menerima kenyataan, apa adanya. Bukan urusan kita merespon. Itu urusan semesta, urusan Tuhan. “Kita hanya menyampaikan…”.

Di akhir perjalanan, aku mengingat kembali semua itu, memandang mata bening sembilan anak-anak yang tengah menari. Dan aku menangis.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.