“Virus moseco yang sejatinya adalah sebuah kewarasan yang nyata telah dianggap sebuah kegilaan.”
*
Kalau kata “moseco” (gak ada kerjaan) masih bisa dianggap sebagai sebuah peringatan dalam nada canda, kata “cari mati” mungkin tidak lagi membawa pesan itu. Lebih kepada sebuah ejekan, kalau tidak mau dikatakan mengarah ke nyumpahin.
Kemarin malam, teman saya raguragu menyampaikannya ke saya. Tentu saja bukan teman saya yang memberi stempel “cari mati” itu. Temannya teman saya. Salah? Tidak sih. Eh, salah deng, salah besar! Infonya, dia pelari baru. Padahal selama di Aceh, untuk lari 250K itu, saya menemukan banyak “pelari baru” yang tidak satupun bertanya “Cari mati, Oom?”, tetapi malah ikut menyemangati, mendukung, berlari. Habisahabisan.
(Selalulah ingat kalimat bijak yang mungkin memang sengaja diciptakan untuk para pelari, “Don’t put yourself in other’s shoes”.)
Baiknya saya tambahkan beberapa cerita lelarian di Aceh minggu lalu. (Beberapa mereka bukan pelari baru, tetapi pastinya pernah menjadi pelari baru.)
Ada Tyo yang sekarang berulang-ulang menyebut #virusmoseco menjangkit, yang rencana menemani 5K di etape ketiga – di antara kesibukannya tetap bekerja melalui HP-nya – meleset menjadi 35K (dan jauh lebih jauh lagi di hari berikutnya). Ada Manan – beberapa minggu terakhir latihan lari untuk persiapan – yang setiap hari kelihatan di lintasan, dan menemani 24K mengarungi sore malam naik turun lelah lapar etape ketiga, meninggalkan sholat maghrib dan isya-nya, “ada pahala jauh lebih besar kali ini, dan saya mau ambil pahala itu” (tetiba dada saya terasa hampa membeku mendengarnya).
Ada Aan yang pagi-pagi buta dari Banda Aceh, berangkat ke tempat start etape keempat, demi bisa lelarian bersama, dan hari itu telah “dibaptis” menjadi seorang ultraman. Ada Ayun – juga dari Banda Aceh – yang malam sebelumnya sudah tiba, menumpang nginap di kantor tentara, pagi bergabung di Kantor Kecamatan Lhoong, menyelesaikan etape terakhir bersama, yang berkata lirih “Bali adalah mimpi saya”, setelah kebutuhan keluarga tentunya, (yang berlari puluhan kilometer setiap hari, pagi siang malam, ditertawakan, demi mengumpulkan mileage untuk bisa menang di sebuah lomba virtual run, bisa ke Bali Marathon, dan masih gagal mendapatkannya).
Ada Nico, ada Lisa, ada Harris, ada Vina, ada Adi, ada Nurul, dan sederet lainnya, dengan ceritanya masing-masing.
Ada “keterbukaan”, ternyata Meulaboh – Banda Aceh bisa dilariin. Mungkin saja, satu saat, Tapak Tuan – Banda Aceh pun bisa, 435K menyusur pantai barat Aceh yang amboi. Atau dari pusat jantung provinsi yang sangat bersahabat ini, Takengon, ke Banda Aceh, 300K. Siapa yang pernah tahu? Indahnya berbagi.
(Mungkin kalimat bijak yang satu ini juga diciptakan untuk para pelari, “Always put yourself in other’s shoes. If you feel it hurts you, it probably hurts the other person, too”.)
NH