Dan untuk kesekian kali, “The Reds” diselamatkan lewat gol pada menit akhir, injury time. Karakter pantang menyerah, “mentalitas monster”, melekat pada klub merah ini. Liverpool maju ke final Piala Dunia Klub 2019, Qatar, dan akan menghadapi Flamengo (klub asa Zico – cinta pertamaku), Brasil. Klub sepakbola favorit dan negara sepakbola favorit, senangnyaakutu, siapapun pemenangnya nanti.
Beberapa tahun lalu, sebuah majalah lari memuat artikel soal robot dan monster. Program latihan lari rutin kita akan membentuk kita menjadi robot, positif dan tentu saja akan sangat membantu pada saat kita mengikuti event, baik speed maupun endurance. Namun terkadang ketika beberapa ratus langkah terakhir atau beberapa kilometer terakhir, “robot kita kehabisan baterai”, mendadak kita berhenti berlari, stop, berjalan, atau bahkan men-DNF-kan diri. Robot di kepala kita tidak bersalah. Otak kita tidak bersalah. Rasionalitas kita tidak bersalah. Finn menulis, “The idea that during exercise such as endurance running, the brain starts to shut our body down early to protect us. We evolved like this in order to keep some energy in reserve in case of an emergency.”
Namun di saat itulah -ketika kita masih ingin meneruskan, ingin menyelesaikan, ingin menang- kita membutuhkan sosok lainnya. Monster. Monster kita. Dia tidak ada di kepala kita, dia bersembunyi di balik dada kita. Dan kita harus memanggilnya keluar (“Monster NH!”, atau ganti saja NH dengan namamu), untuk dia berperan mengambil alih tugas robot yang telah selesai, untuk meneruskan, untuk menyelesaikan, untuk menang. Untuk lari, untuk sepakbola, untuk pekerjaan, untuk keseharian, atau untuk apa saja. Positif, pun negatif.
Mungkin karena itu, dalam lari misalnya, ketika melintas garis akhir, sebagian dari kita kadang berteriak keras, menjerit lega. Monster kitalah yang berteriak, menjerit. Ataupun menangis. Robot tidak menangis.
NH