Anakku,

Kamu harus selalu sehat.
(Bahagia, mengetahuimu masih menantikan suratku ini.)

Malam itu, bulan lalu, di teras rumah, setelah hujan, di bangku kayu itu, Aku memutar rekaman “Wuhan Jiayou” dari media sosial. Sebelum mulai, Aku sempatkan membaca beberapa komen yang ada, yang menjadikanku gemetar, geram dan ragu, mengecilkan suaranya. Aku menonton dan lalu menulis.

Wuhan Jiayou…

Lihatlah kita,

Ketika Wuhan tengah dalam bencana,
Ketika dalam malam gelap gulita,
Ketika terdengar suara menyayat itu,

Kita masih tega menuduhnya,
Kita masih tega mencandainya,
Kita masih tega menyebutnya azab,

Tidak bisakah kita kalau tidak bersedia berdoa, abaikan saja?
Tidak bisakah kita kalau tidak bisa abaikan, cukup diam saja?
Tidak bisakah kita kalau tidak mau diam, janganlah menyampah?

Siapakah kita?
Masih manusiakah kita?

Malam ini, di teras rumah, setelah hujan, di bangku kayu itu, Aku merasakan tuduhan itu tengah menunjuk kita, candaan itu tengah menertawakan kita, dan azab itu tengah mengintai kita.

Tapi sudahlah. Itu sebulan yang lalu. Sekarang, kita harus selalu sehat.

Anakku,

Hari-hari ini adalah salah satu babak terkelam dalam hidup kita, bani manusia. Melalui hari lepas hari dalam khawatir dan penantian, mengukur jarak antara hidup dan kematian seolah semakin tipis, sementara roda kehidupan berputar melambat perlahan dan bola dunia bergulir tanpa tahu kapan akan kembali ke orbitnya.

Keraguan, kebingungan, kepasrahan menemani setiap tarikan napas kita. Kesedihan, ketakutan, kepanikan menyatu dalam hembus napas kita. Di sekeliling kita, media tidak lagi memberitakan nama-nama, melainkan angka-angka. Berapa lagi jumlah besok? Adakah tetangga kita, teman kita, keluarga kita? Adakah kita?

Mari ingat kembali cerita ini.

“Seorang narapidana, di tengah malam terakhirnya sebelum keesokan paginya dieksekusi mati, duduk dalam gelisah. Tubuhnya bergetar, berkeringat dingin, tidak mampu memejamkan mata. Tertunduk, menatap kosong lantai yang kusam. Seberkas cahaya perak menerobos masuk melalui jendela bilik, jatuh ke lantai. Dia menengadah, dan di antara teralis besi, dia memandang bulan yang tengah bersinar benderang. Tidak pernah sebelumnya dia melihat bulan begitu indah, matanya mulai merah berkaca, dadanya terasa panas sesak, senyumnya perlahan mengembang, hatinya diselimuti bahagia. Malam itu, dia jatuh tidur lelap dalam damai, dalam malam terindah sepanjang hidupnya.”

Selalu sehat, Nak.

Ayah

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

3 replies on “SURAT UNTUK ANAKKU (18)

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.