“Di atas pasir senja pantai Kuta
Saat kau rebah di bahu kiriku
Helai rambutmu halangi khusukku
Nikmati ramah mentari yang pulang
Seperti mata dewa…” ~ Iwan Fals
Sejenak aku menengok ke belakang, memperhatikan jejak-jejak bekas sepatu kami di atas pasir. Setelah berlari sekitar duapuluhlima menit, sekarang kami hanya berjalan, perlahan. Tidak banyak yang kami bicarakan sore itu. Lelaki di sampingku memandang lurus ke depan, jauh ke tengah laut. Aku melirik matanya. Argh, sorot mata tajamnya. Sorot mata yang selalu menelan lawan bicaranya bulat-bulat, dalam-dalam. Aku, seperti juga wanita-wanita lain, selalu tenggelam dalam sorot mata itu. Aku ingat pernah menegurnya, jangan memandang wanita seperti itu. Dan dia hanya tertawa.
Matahari yang nyaris terbenam di ujung garis laut sana terlalu indah untuk diusik. Kami memilih menikmatinya masing-masing, dalam diam. Kalian tahu? Kami berdua adalah pecinta lari di atas pasir, pecinta matahari senja. Kami pecinta gunung, pecinta alam. Kami pecinta keindahan, pecinta keheningan. Sekalipun pantai Kuta masih riuh menjelang sunset seperti ini, seperti biasanya. Tapi buatku, sore itu Kuta begitu hening, begitu sepi. Suara-suara manusia di sekeliling tidak mengusikku sama sekali, tidak lebih keras dari suara debur ombak dan suara alam magis yang tiba-tiba hadir. Ya, hanya ada suara-suara itu. Dan dia yang hadir, berjalan di sisi kiriku. Aku mau menikmati senikmat-nikmatnya sore ini, mengenangnya untuk jangka waktu yang panjang, dimanapun aku berada. Besok mungkin masih akan ada matahari terbenam yang lain, tetapi aku? Aku pastilah bukanlah aku yang sekarang. Dan dia juga mungkin tidak akan bersamaku lagi. Tidak berdua seperti ini. Besok siang kami akan kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas sehari-hari kami. Kembali ke sorotan kamera dan sekat-sekat news-room. Kembali ke kumpulan teman-teman kami. Teman-teman kami berdua.
Bali untukku kali ini mungkin hanyalah sebuah pelarian. Sebulan setelah berpisah dengan Darka, aku sungguh butuh pelarian. Aku butuh keluar dari Jakarta, dari kantorku dan lingkungan teman-temanku, tempat dimana Darka juga merupakan bagiannya. Sebenarnya kami merencanakan liburan ini bertiga, tiga bulan lalu. Setelah perpisahan kami, Darka memutuskan batal ikut, tentu saja. Melegakan, entah apa jadinya juga kalau Darka tetap ikut. Akhirnya yang berangkat, ya itu, hanya kami berdua. Liburan yang tiba-tiba berubah menjadi pelarian. Buatku. Pelarian yang sempurna.
Kami mendarat di Denpasar kemarin siang, langsung ke penginapan. Hotel, tepatnya losmen, kami terjepit di antara bangunan toko-toko sepanjang jalan pantai Kuta, nyaris tidak terlihat. Hanya menyisakan pintu gerbang kecil, pintu gerbang khas Bali, melewati lorong sempit, barulah terlihat deretan kamar. Ada enam kamar berjejer di sebelah kanan dan satu meja resepsionis kecil di tengah sisi kiri. Kolam kecil dengan beberapa ikan mas dan pancuran, lumayan memberi sedikit nuansa losmen itu. Kami hanya memesan satu kamar, dengan dua ranjang terpisah. Pintu kamar dengan gantungan ukiran Bali, tertulis angka nomor lima.
Sejak di pesawat, kami berjanji tidak akan kemana-mana selama di Bali. Hanya antara losmen dan pantai, pantai dan losmen. Kami sepakat, hanya pantai Kuta, sekitar dua ratus meter dari losmen, itu saja tujuan kami. Jadilah, siang itu makan siang kami adalah nasi bungkus yang dijual ibu-ibu pantai. Duduk di bangku plastik yang kaki-kakinya terbenam setengahnya ke dalam pasir, kami melahap makan siang murah meriah. Dia sungguh menikmati, dua bungkus nasi, satunya daging dan satunya ikan. Tak heran, dia memang pecinta nasi, plus sambal. Dia menikmati orang-orang yang lalu lalang. Dia menikmati pantai dan matahari. Dia menikmati saat itu, momen itu. Aku terpana, senang, ikut hanyut dalam suasana. Dan aku menikmati dia. Memandangnya, aku bersyukur pergi bersamanya. Tiba-tiba aku merasa lebih bahagia, bahkan lebih bahagia daripada kami pergi bertiga, sekalipun aku dan Darka tidak berpisah. Perasaan yang aneh.
Dia sempat membuat tattoo temporary bergambar naga di lengan kanannya. “Satu hari nanti, aku akan membuat tattoo sungguhan, Made. Lebih berwarna dari yang kau buat, lebih besar menutupi lengan dan punggungku.” Pelukis tattoo itu hanya tersenyum, sambil terus menggerakkan kuas hitam usangnya. Aku turut tersenyum. Sungguh-sungguhkah dia?
“Kok berpikir begitu? Beneran?”
Dia memandangku, “He eh, pasti. Ada banyak mimpi-mimpiku, semacam dendam masa lalu, hahaha. Dan tattoo adalah satu di antaranya.”
“Tattoo naga juga?”
“Tidak, tribal. Aku lebih suka abstrak. Aku suka tidak mudah ditebak, aku suka banyak penafsiran. Aku suka Dayak, suka Indian.”
Aku mengalihkan mataku ke tattoonya yang hampir selesai, membayangkan tattoonya nanti, yang tribal itu. Hmm, mungkin kalau berwarna, paduan hitam bergradasi dan sedikit merah akan tampak bagus dan gagah. Dia memandangku, membelalakkan matanya, seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.
Kembali ke penginapan, sambil menunggu sore, kami berbincang dengan pemilik losmen. Kami menyimak serius cerita tragedi Bom Bali itu, dan pemilik losmen yang tanpa gentar ikut membantu evakuasi para korban. Pemilik losmen yang mengutuk saudara-saudara seagamanya yang menjadi pelaku. Pelaku yang mengaku beragama, padahal jauh lebih rendah daripada orang-orang tak beragama. Tragedi hidup manusia selalu menggangguku, mengiris hatiku. Tidak hanya Bali, atau Indonesia. Juga dunia. Mataku basah mendengar cerita pemilik losmen, sama seperti waktu-waktu lain ketika aku membuka lembaran koran atau melihat foto. Gambar koran berisi foto seorang bocah perempuan yang terluka menangis saat menunggu perawatan di rumah sakit darurat di Timur Tengah sana. Atau foto seorang wanita dibalik kameranya, yang tengah memotret anak-anak kelaparan di Afrika, dengan sebelah mata yang sedang berlinang air mata.
“Is this what we’re all living for today?
The world that we created?” ~ Queen
Sorenya, kami berlari santai di pantai. Sekitar setengah jam, dari ujung satu ke ujung lainnya, dua kali bolakbalik. Menjelang matahari terbenam, kami duduk di atas pasir. Dia tidak menanyakan soal Darka, dan akupun tidak mau menyinggung itu. Kami bertiga sangat akrab, mengenal satu dan lainnya dengan baik. Tetapi kami sangat menjaga privasi masing-masing, tidak mencampuri urusan yang lain kalau tidak ditanya. Dan kami tidak suka saling bertanya untuk itu. Aku dan dia lebih banyak bicara soal lagu-lagu The Alan Parsons Project dan sajak-sajak Kahlil Gibran. Juga cerpen-cerpen mingguan Kompas. Kami memiliki kesukaan yang sama. Sangat sama. Di atas pasir Kuta, menunggu matahari tenggelam, bercerita hal-hal yang indah. Meninggalkan Jakarta, melupakan Darka, menyingkirkan tumpukan tulisan dan dead-line berita, aku sungguh bersyukur. “Terima kasih…” Dia menoleh ke arahku, tersenyum. Tangannya sesaat memberantakkan rambutku yang kasar.
Ketika malam itu berbaring di ranjang, aku mendengar dia melangkah keluar. Perlahan supaya tidak membangunkanku. Jarak kamar kami dengan resepsionis tidak jauh, hanya beberapa langkah saja. Aku bisa mendengar sayup suaranya menelpon dari meja resepsionis, di antara bunyi pancuran. Dia berbicara, berbisik pelan. Kerjaan? Rasanya tidak. Wanita? Tak mungkin lelaki. Aku memejamkan mata, berusaha tidur.
Malam ini aku kembali mendengar dia bangun dari ranjangnya, melangkah keluar. Ketika membuka pintu kamar, dia melihat ke arahku. Aku sedang memandanginya. “Oh, aku izin telpon ya.” Aku mengangguk, berusaha tersenyum. Wajahnya sedikit hangus terbakar matahari hari ini. Tadi pagi kami jogging ringan lagi di pantai. Setelahnya, menyantap kembali nasi bungkus seperti kemarin. Aku satu bungkus, dia dua. Daging dan ikan lagi. Plus tambahan sambal, dia suka sekali sambal. Siang istirahat dan sore kembali lagi. Aku ingat sebelum ke pantai tadi pagi dan sore, aku membantu mengoleskan lotion sun screen ke wajahnya. Aku suka hidungnya, dan terutama waktu dia memejamkan matanya. Wajahku begitu dekat dengannya. Dengan mata terpejam, wajahnya begitu tenang. Argh, nyatanya tidak hanya sorot matanya yang menghanyutkan. Mata terpejamnyapun meneduhkan. Pasti tidak banyak wanita yang berkesempatan melihatnya terpejam seperti itu, sambil menyentuh dahi dan pipinya, dan hidungnya. Aku beruntung. Paling tidak hari ini. Atau mungkin hanya hari ini.
Tetapi sekarang dia sedang bicara dengan siapa? Aku tidak bisa mendengar yang dibicarakan, tetapi aku tahu, dia pasti sedang bicara dengan wanita. Naluri wanitaku memberitahuku. Wanita yang sama seperti semalam? Kekasihnya? Dia sudah punya kekasih? Dia tidak cerita? Aku tidak tahu? Aku memejamkan mata. Aku tak mungkin bisa tidur sekarang. Oh God, please. Jangan biarkan aku jatuh cinta saat ini. Jangan biarkan aku jatuh cinta kepadanya. Aku sudah sangat bahagia dengan hubungan ini, hari-hari ini, di Bali ini. Cukup itu saja. Jangan kacaukan itu. Aku mau menyimpannya baik-baik untuk hari-hariku nanti. Hanya untukku. Sekalipun inilah malam terakhirku. Sekalipun sore tadi adalah matahari terbenam terakhir dalam hidupku. Aku tak peduli.
Dia melangkah masuk, berbaring di ranjangnya. Kami berpandangan. “Who’s that lucky girl?” Suaraku terdengar parau. Ada yang meleleh dari balik dadaku, sama seperti sebulan lalu ketika berpisah dengan Darka. Dia menatapku. Sorot matanya kembali menelanku. Dia menggeleng perlahan, enggan menjawab. Dia berusaha tersenyum, tapi tak berhasil. Dia membalikkan badan, meninggalkan aku yang sedari tadi berusaha menahan danau itu tidak tumpah mengalir keluar dari mataku.
“…Yang menangis tinggalkan diriku,
Yang menangis lupakanlah aku…”
NH
facebook,com
LikeLike