“Life begins at the end of your comfort zone.” ~ Neale Donald Walsch
Sekarang ini kita sudah jarang menepikan kendaraan di pinggir jalan, lalu menegur ragu bapak ibu penjaga warung, “Numpang tanya, PakBu…” atau di waktu lain berusaha keras mengingat-ingat, lampu merah kedua di depan belok kanan, gang ketiga yang ada warung warna pink belok kiri, nanti ketemu bundaran taman ambil gang pertama, lurus sampai ketemu pos kamling, rumah keempat yang ada pohon kamboja kuning…
Tekhnologi Google Maps nyaris meniadakan gangguan kita ke PakBu Warung. Kita juga tidak perlu lagi menguras otak mengingat-ingat -bisa dipakai untuk hal-hal produktif lainnya, harusnya- cukup digantikan suara merdu mBak Mesin yang sabar-tidak-pemarah yang memerintah kita belok kanan belok kiri dan seterusnya dan seterusnya.
Tidak hanya untuk urusan mencari alamat, dalam hal urusan lari, terkadang saya mengandalkan bantuan Google Maps. Di kota antah berantah, saya akan “meneropong” lokasi berlari semacam taman atau monumen, lalu menarik rutenya dari titik awal di tempat menginap, mengikuti rute berjalan atau berlarinya. Beres. Tinggal ikat tali sepatu. Cuuzzz.
Beberapa saat terakhir, saya kadang “iseng”, menarik garis dari satu kota ke kota lain, atau dari satu titik ke titik lain. Foto-foto yang dikirim seorang teman baik hati di Batam, berupa foto jalan raya mulus panjang berbukit, menggugah kekaki-kakian saya. Si GM beraksi, menunjukkan Trans Barelang (Batam Rempang Galang) sejauh limapuluhan kilometer, melintas enam jembatan yang menghubungkan tujuh pulau. Kalau sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, ini sekali berlari bisa dapat lebih banyak pulau. Waow!
BangLexi mengomandoi lima pelari dari Jawa, Mike-Anne-Renato-Carla-NH, plus support dari Babab, Tande, Mamio, dan dengan dukungan antusias dari pelari-pelari Batam, start pukul 05:39 pagi 19 Desember 2020 dari bibir jembatan pertama, jembatan terbesar dan terpanjang, Jembatan Tengku Fisabilillah yang masih menyisakan lampu-lampu indahnya. Tidak sampai sepuluh kilometer, rombongan telah melintasi tiga jembatan lainnya, Jembatan Nara Singa, Jembatan Raja Ali Haji, dan Jembatan Sultan Zainal Abidin, tiba di pulau kelima, Pulau Rempang, setelah Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, dan Pulau Setotok.






Di Pulau Rempang, terbentang lintasan terpanjang, lebih dari duapuluh kilometer, hingga mencapai jembatan kelima, Jembatan Tuanku Tambusai, yang menghubungkan dengan Pulau Galang. Matahari yang mostly bersahabat -infonya sih kebetulan aja sedang bersahabat, biasanya tak kenal ampun- dengan hujan yang absen hadir, menemani sepanjang perjalanan lurus naik turun. Hingga tiba di jembatan keenam, Jembatan Raja Kecik, berjarak sekitar satu full marathon dari titik start, memasuki pulau terujung, Pulau Galang Baru, lalu melanjutkan sisa sekitar delapan kilometer terakhir, menggenapi angka limapuluh, di titik finish.





“Running has thrown me into adventures that I would otherwise have missed.” ~ Benjamin Cheever
Mungkin cerita ini akan menjadi babak awal “runventure” atau petualangan lari atau larikelana, atau apapun istilahnya. Mungkin besok-besok saya akan lebih rajin iseng menarik-narik garis di Google Maps. Mungkin satu saat akan ada teman atau komunitas lari di antah berantah yang bercontact mengajak lari di sana-sana. Mungkin sebenarnya memang banyak hal yang bisa dilakukan oleh lari. What running can do? What that simple primal sport can do? What that brutal and emotional sport can do? And suddenly I know, it’s time to start something new and trust the magic of beginnings.

NH