Andai saya regulator yang mengatur perdagangan saham, yang sekarang nilainya dua digit triliun rupiah dan jutaan kali frekuensi transaksi setiap hari, saya akan segera melepaskan -atau paling tidak khusuk memikirkan untuk segera melepaskan- “rem darurat” yang selama ini terpasang. Auto rejection, batasan kenaikan dan penurunan harian. Dalam kondisi normal, auto rejection berkisar antara 20% hingga 35%, atas dan bawah, tergantung harga saham dan fraksinya. Namun selama pandemi, yang membuat hidup menjadi tidak normal, “rem darurat” ditarik, batas atas tetap berlaku, sedangkan batas bawah hanya 7%, pukul rata untuk berapapun harga saham dan fraksinya. Kebijakan itu bolehlah disebut berhasil meredam penurunan terjun bebas tahun lalu, tentu saja. Walaupun kita akan lebih bangga sambil menepuk dada menyatakan bahwa kejatuhan indeks tertahan oleh perkasanya investor lokal. Tetapi ini bukan soal bangga-banggaan dengan kebijakan itu, dengan transaksi dua digit triliun rupiah, dengan jutaan kali frekuensi transaksi, dengan perkasanya investor lokal (kalau beneren perkasa selamanya).
Beberapa pesan menakutkan -atau ketakutan, tepatnya- mulai terdengar, dan disampaikan. Apa yang akan terjadi kalau kebijakan yang membuaikan itu dikembalikan semula? Ada teman yang menyatakan akan “keluar” dari pasar, ada teman yang membayangkan portofolionya bakalan kiamat. Mungkin mewakili banyak teman lainnya yang tidak saya kenal, yang tidak terdengar dan tidak terbaca. Saya geli membayangkannya, sungguh.
Pandemi memang belum berakhir, namun beberapa hal harus kembali normal, atau ke kenormalan baru. Auto rejection harus dikembalikan normal, bukan terus berjalan dalam kenormalan baru yang “tidak fair” itu, “kenikmatan sesaat” yang pada akhirnya malah berisiko melahirkan generasi “investor abnormal” yang rapuh. Keseimbangan bertujuan untuk kelanggengan, tengoklah alam semesta. Keseimbangan akan menjadi “hukum alam” yang akan mensortir kembali, mana para investor beneran dan mana para pemain, yang hari-hari ini sedang ketakutan, waswas, bingung, bersiap kapok.
Andai saja bulan depan, “fair play” kembali diberlakukan, saya (geli juga? hmm, entahlah) membayangkan akan paniknya pasar. Para pemain akan tersapu hujan hanyut ke laut, “hukuman” karena bermain dengan bukan mainan, sementara para investor tulen -super investor- akan bernyanyi dan menari bersama hujan bulan Februari…