“Apa sih yang dicari?”

Saya menengadah sebentar, tidak langsung menjawab, menunduk kembali, melanjutkan mengikat tali sepatu. Babab duduk di ranjang seberang sebuah penginapan di Larantuka, tempat singgah berkemas sebentar sebelum menuju garis start. Dia tampak serius menunggu jawaban. Sementara otak saya masih berputar-putar dengan pertanyaan itu, yang saya tahu selalu saja sulit untuk dijawab, pun hingga saat ini setelah sekian tahun berlari ultra marathon. Kepala saya berusaha menggali, mencoba mencari jawaban, atau lebih mudahnya mencoba mengingat-ingat kembali kutipan sana sini di buku-buku yang pernah dibaca.

“Mungkin petualangan, mungkin sebuah kepuasan, mungkin juga mencari pencapaian. Atau yang lebih abstrak, karena hidup sehari-hari sudah terasa nyaman, lari jauh adalah bentuk ketidaknyamanan, agar tidak lupa untuk selalu menghargai dan mensyukuri kenyamanan itu.”

Beberapa kalimat di buku The Rise of The Ultra Runners terlintas begitu saja, ‘Happiness needs to be earned. Was this all so we could feel that we had earned our happiness?’ Atau pertanyaan retorik seorang wanita dalam perjuangan memahami apa yang tengah dilakukannya di tengah lomba The Oman Desert Marathon, “Why do we do this? We have such a nice home.” Sang suami, di sampingnya, hanya menyahut, “Because we have a nice home.”


Lima belas menit sebelum start Run to Care 155K antara Larantuka dan Maumere di Nusa Tenggara Timur, gerimis tipis mulai turun. Berdoa bersama dan menyanyikan Indonesia Raya di tengah rinai hujan, dan tepat pukul 08:00 malam, bendera start dikibarkan di Kantor Bupati Flores Timur. Menyusur jalan aspal yang basah, gelap, sepi, naik-turun, berteman derap sepatu, tarikan hembusan napas, dan titik-titik air yang bersinar terkena cahaya senter kepala. Hujan sedari tadi hanya sesekali saja mereda sebentar, dan kembali mengguyur.

Berlari menempuh 36K pertama, berhenti sejenak di beberapa water station, sekitar pukul 02:30 pagi tiba di check point pertama, di Kantor Desa Lewolaga. Tawaran bubur ayam dan bubur kacang ijo tidak satupun dilewatkan, sembari mengganti kaos kuyup keringat bercampur hujan, serta kaos kaki yang basah. Ketika berbincang singkat dan berfoto bersama Pak Kades dan Bu Kades di samping teras aula, saya berpikir, jangan-jangan akan ditanya juga “Apa sih yang dicari?” Untungnya tidak. Pertanyaan lain. Soal umur. Glek!

Tiga puluh lima kilometer berikutnya menuju check point kedua di Kantor Desa Hikong adalah cerita semata perjalanan hujan lebat, dan hujan berangin yang tiupannya sekali waktu bahkan mampu mendorong tubuh ke belakang. Hanya sempat menikmati sebentar saja kaos kering di tubuh dan kaos kaki kering membalut kaki, sekejap kemudian telah basah total. Juga “terpaksa” mengeluarkan wind-breaker untuk menahan hujan, dan terutama angin. Padahal biasanya guyuran hujan ringan adalah syukur nikmat romansa tersendiri.

Seorang teman pernah geram menasihati, “Lu gak perlulah sebegitunya hanya untuk mencari donasi. Lari aja di Monas, dan gua akan tetap donasi.” Mungkin ini bukan hanya sekadar soal donasi, ini juga soal larinya, kecintaan berlari, berlari jauh. Lagi-lagi, you can’t ask why about love, kan? Dan di antaranya, barangkali ini juga yang dicari; tetes-tetes air yang jatuh lepas dari ujung topi putih, kaki yang terus menjejaki aliran air deras di aspal mendaki, pohon-pohon bambu yang menunduk nyaris menyentuh tanah menghalangi, lumpur dan kerikil batu kecil yang runtuh perlahan menuruni tebing tanpa henti.

Hujan baru berhenti setelah tiga belas jam sejak start, menyisakan satu jam mendaki titik tertinggi perjalanan dan menuruninya hingga check point kedua, KM 71, nyaris setengah rute yang harus ditempuh. Sekitar pukul 10:00 pagi, saya terduduk di velbed hijau tentara, di aula kantor desa itu. (Seorang teman lari relay-dua, tiba dan langsung berbaring di samping, selesai menuntaskan perjalanannya; di antara keringat yang masih mengucur di wajah lelahnya, air matanya mengalir. Saya menyelamatinya, people cry not because they’re weak, but because they’ve been strong for too long.)

Saatnya istirahat dan makan pagi sekaligus siang, saatnya mengganti kaos, celana, kaos kaki, dan sepatu. Saatnya merawat kaki yang keriput kedinginan lunak pucat. Dan blister. Jari kelingking kanan kiri berair. “Pecahkan dengan jarum?” (Oh gosh, saya tidak pernah suka jarum! Kecuali jarum tattoo…) Tetapi ternyata sulit untuk ditusuk jarum, syukurlah. Bebat saja, sekencang-kencangnya! Kedua jari, dan telapak kaki bagian depan. Kanan kiri.

Hujan yang telah berhenti memberi semangat baru. Bagian tersulit telah dilewati, cuaca ekstrem dan pendakian panjang. Berikutnya hanya jalan menurun dan datar. Mudah? Seolah-olah. Akan ada hadangan tubuh yang telah terkuras sebelumnya, akan ada kantuk yang bakal menyerang sewaktu-waktu, akan ada gelap malam kedua dan paruh kedua perjalanan. Ada 41K yang harus ditempuh untuk mencapai check point ketiga. Lewat pukul 13:00, langit masih mendung, perjalanan berlanjut. Melewati jalan-jalan sepi, tebing-tebing menjulang, jembatan-jembatan kokoh, hamparan ladang dan ilalang, perkampungan penduduk yang ramah, anjing-anjing yang menggongong.

Malam turun. Mencari bulan dan bintang yang enggan hadir, mencecap titik-titik air yang jatuh dibawa angin dingin, mendengar dentum hempasan ombak berulang-ulang. Plang panah petunjuk jalan bertuliskan “Maumere” mulai tampak. Mencari-cari traffic corn merah berkedip-kedip, penanda setiap water-station sebelum mencapai check point. Makan sekenanya, roti popmie buah tehmanis energen milo. Rebah sekenanya, sepuluh menit limabelas menit tigapuluh menit. Lewat jam 10 malam, tiba di KM 112 di SDN Watubala, check point ketiga. Meringkuk tertidur.

Sekitar satu jam istirahat, mengganti kaos dan kaos kaki terakhir, melanjutkan penggal penghabisan perjalanan. Membawa kantuk yang masih tersisa, menyeret langkah yang telah lelah, memeluk malam yang tetap dingin. Ada hotel dengan ranjang empuk dan nyaman, sementara tubuh ini menggigil diterpa angin rebah di pinggir jalan seberangnya. Ya, apa sih yang dicari? Langit mulai terang ketika memasuki pusat kota Maumere, angkutan-angkutan pagi sepeda motor dan mobil mulai ramai, orang-orang yang berolahraga lari pagi dan warga yang bergegas menuju gereja di Minggu yang cerah.

Setelah hampir tigapuluhtujuh jam sejak start di Larantuka, akhirnya melintasi pita biru yang terbentang di SOS Children’s Village Maumere, Flores, “desa” tempat tinggal anak-anak yang telah dan terancam kehilangan pengasuhan orang tua, anak-anak yang seharusnya berhak atas gizi baik dan pendidikan berkualitas, anak-anak yang seharusnya berhak memperoleh hidup layak seperti anak-anak lainnya, “desa” tempat memastikan kehidupan 1.645 anak dalam dampingan yang tersebar di 16 lokasi di Magepanda, Alok, Alok Timur, dan sepanjang pantai utara Flores, Nusa Tenggara Timur.


Di pojok area finish, di village itu, di antara riuh ramai pembawa acara, di antara ibu-ibu pengasuh yang gembira campur haru terus bertepuk tangan, di antara anak-anak yang menari riang, saya menghidupkan handphone yang dimatikan selama perjalanan. Sebuah pesan singkat muncul, “Sesungguhnya di penghujung 155K itu terletak surganya…”

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.