“The only difference between a happy ending and a sad ending is where you decide the story ends.” ~ Andrew Kaufman

Tadinya aku sempat terpikir untuk menulis tentang lahirnya pagi. Tentang datangnya matahari memulai harinya di sisi timurku, menyapukan sinar lembutnya ke hamparan kebun jagung, barisan rumah sederhana warga, hingga jatuh jauh ke sisi kiriku, ke permukaan Danau Toba. Menggambarkan indahnya biru langit pertama berpadu dengan warna jingga yang selalu memancar magis, menghirup dalam harum dan sejuk sepoi hembusan angin pegunungan, menyaksikan anak-anak kecil yang baru bangun tidur, berjalan dan bermain di aspal mulus lengang, dan mengawasi anjing-anjing kampung yang berjaga di pagar pekarangan. Suasana pagi hari yang tenang dan damai, ngangenin, selalu seperti itu, dimanapun, ketika usai berlari semalaman mengarungi gelap.

Terutama kali ini. Malam sebelumnya yang melelahkan, bertarung dengan jalanan naik turun dengan permukaan aspal berlubang dan beton tidak ratanya yang siap menciderai kaki, menjungkalkan tubuh. Malam yang kotor dan menyebalkan, lalu lalang ramai segala jenis kendaraan, besar dan kecil, saling berebut jalan, yang supir-supir kendaraannya tidak berniat mengalah. (Bagi sebagian pengendara, mungkin berpikir para pelari kotor ini juga sama menyebalkannya, hanya menghambat laju di jalur jalan miliknya.) Malam gelap yang menggentarkan, yang angin dinginnya serasa mengiris hendak melukai kulit, yang tiupan kencangnya menggesek berisik dedaunan tinggi di atas kepala, yang gemuruh suaranya laksana ombak laut yang terus mengikuti, bergelombang mengejar dan berusaha menggulung, membuatku enggan untuk menengok ke belakang, walau hanya untuk sesekali, ke kegelapan pekat malam.

Tetapi aku dnf, do not finish.

Sabtu 30 Juli 2022, lewat pukul 8 malam, aku mencapai Tahura Berastagi, Check Point 2, KM 108 dari total 158KM jarak yang harus ditempuh, antara Parapat-Danau Toba ke kota Medan, event Run to Care – SOS Children’s Villages. Setelah berlari dan berjalan selama 21 jam 22 menit, sejak start Jumat pukul 11.00 malam sehari sebelumnya. Aku berhenti, dan memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan sisa perjalanan.

Cerita di awal tadi barang kali menjadi tidak menarik. Bukan lukisan tentang kedamaian pagi dan kesendirian malam yang hendak kutulis, atau yang ditunggu. Lagi pula aku sudah sering bercerita mengenai hal itu, membosankan, mungkin, bahkan untuk aku sendiri.

(Aku pelari. Dan aku penulis. Atau aku sedang mencari ide baru lain untuk menulis? Seperti penulis buku roman yang bertualang dari satu cinta ke cinta lainnya demi bahan cerita terbarunya? Aahhh, rasanya tidak segitunya. Lagi pula, aku belum berencana untuk mencoba menjadi seorang penulis novel serial-killer.)

“Kenapa DNF? Sehat Om? Kunaon euy? Kenapa? Amankah? Sakit apa? Cidera? Tumben. Not Om Nicky bgt. Nunggu tulisan pengalaman DNF”, begitu bunyi pesan-pesan elektronik yang mulai masuk.


Kakiku aman, tanpa kram, tanpa blister, tanpa cidera sama sekali. Dibawa berlari kecil masih bersedia, dibawa berjalan pun masih gagah dengan kekuatan dan kecepatan power-walk khasku. Sisa 50K dari Berastagi ke garis finish di SOS Children’s Village Medan untuk jatah 11 jam ke depan seharusnya masih nyaman. Plus masih tersedia “surplus” sekitar satu setengah jam lebih di CP ini untuk salin pakaian, makan malam, dan tidur sejenak.

Lalu kenapa dnf?

Berlari dan berjalan tanpa istirahat tidur sama sekali lebih dari 20 jam adalah sebuah catatan tersendiri dan terbaik untukku. Rasanya belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya di event-event dengan start malam, selepas start, keesokan harinya, entah subuh atau siang atau sore, mata selalu dipaksa terpejam, pasti menyempatkan diri untuk tidur sejenak di jalan. Sekali ini tidak. (Lumayan, bisa jadi modal bagus untuk event lari jauh berikutnya.) Tetapi tampaknya kombinasi kelelahan dan tidak tidurku, mulai menunjukkan sisi buruk, mengacaukan emosi, “cranky”. Dan memicu halusinasi.

Memutar sedikit ingatan kembali, dan aku menyesalkan dalam hati jalan padat kendaraan yang semalam dan hari ini dilalui, lantas membayangkan potongan jarak akhir yang masih harus ditempuh. Bis dan minibus, truk besar dan kecil, juga kendaraan-kendaraan pribadi yang melintas, yang sebagian besar sama sekali tidak peduli, membuat pelari harus fokus berkonsentrasi, pada kendaraan dari belakang maupun dari depan, yang tak jarang bahkan memaksa pelari melompat ke kiri turun dari badan aspal, berhenti berdiri menunggu berlindung di bebatuan dan rumput pinggir jalan. Dengan jarak yang hanya menyisakan beberapa jengkal saja antara tubuh ringkih pelari dan badan besi kendaraan-kendaraan yang tetap cuek melaju kencang. Jarak yang dalam bayanganku terlalu dekat dengan risiko kecelakaan, terlalu tipis dengan kematian.

Beberapa tahun lalu, atau di beberapa event lari jauh lainnya, antar kota antar provinsi, toh kondisi ekstrem yang mirip kadang aku alami. Pelari AKAP seolah akan selalu berhadapan dengan kondisi serupa, walau bisa dikatakan yang satu ini nyatanya lebih brutal. Waktu berlalu, waktu mengubah, waktu mengajarkan. Aku masih ingin tetap bisa terus berlari, hanya saja di saat ini aku lebih takut dengan -beberapa kali membayangkan- kecelakaan, dan kematian. Halusinasi-takut-mati.

“A hallucination is a fact, not an error; what is erroneous is a judgment based upon it.” ~ Bertrand Russel

Tetapi bagaimana kalau kukatakan begini, yang terjadi sebenarnya adalah justru malah sebaliknya? Ya, sebaliknya! Ini bukan halusinasi! Yang terjadi adalah bahwa aku baru saja dibangunkan dari halusinasi egoku, halusinasi panjangku selama ini, halusinasi-tidak-takut-mati-nya seorang pelari ultra.


Sore Sabtu terakhir bulan Juli merambat pergi diam-diam, sementara gelap malam kedua datang menjemput. Berjalan pelan datar dan mendaki, beriringan bersama beberapa pelari, diterangi senter kepala, di antara sorot lampu kendaraan yang ramai melintas, aku menata untuk memisahkan antara ego di dada dan logika di kepala. Sembari menarik napas lega kalau pada akhirnya tugasku menemani dan mengantarkan teman pelari menyelesaikan lari ultra pertamanya, 58K jarak antara CP 1 di Simalungun ke CP 2, sebentar lagi tuntas.

Tahura Berastagi ramai oleh para pelari yang tengah beristirahat atau yang akan segera lanjut berangkat, juga tim support dan panitia dengan kesibukannya masing-masing. Aku melangkah masuk dalam remang, seraya menghentikan hitungan jam lariku. Di bawah sorot lampu redup, aku melepas lembaran BIB no 1003 dari kaosku, dan menyerahkannya kembali kepada panitia.

Aku tidak merasa sedih, gagal atau kalah, atau kehilangan apapun untuk “do not finish” ini. Aneh.

“In running, I feel free. I have no other goal, no other reward. The running is its own reason for being. And I run with no threat of failure. In fact, with no threat of success. There can be no consequences to make me worry or doubt. I am secure whatever happens. And in that security I reach a wholeness that I find nowhere else.” ~ Dr. George Sheehan

Dan aku bahagia dengan keanehan ini.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.