Pak Joni, pedagang somay sepeda keliling, menusuk empat potong pare dua tahu satu kentang satu kol. Sigap, sebentar saja isi piring sudah berbumbu kacang, kecap, saos tomat dan perasan jeruk nipis. Kami duduk bersebelahan di pinggir pagar bangunan gelanggang olah raga itu. Sementara menyantapnya, Aku lebih banyak menyimak obrolan pria berusia enam puluh tujuh tahun itu. Dia banyak bercerita, mulai dari obat-obatan herbal tradisional, hingga soal agama yang harusnya menyatukan manusia, bukan malah sebaliknya. Dan ini. “Manusia itu harus tahu asal usulnya, berasal dari air dan hidup dari tanah…”

Asal usul. Aku mencoba mereka-reka punyaku. Airku dan tanahku. Sesuatu yang nyaris tak pernah kuingat-ingat dan kuceritakan. Mungkin saatnya sekarang kutuangkan ke dalam tulisan, mumpung sedang suka menuang. Mungkin berguna, mungkin juga tidak. Tetapi bukankah tak ada energi di semesta ini yang terbuang sia-sia? Ya, tak ada. Atau anggap saja ini sepenggal otobiografi, siapa tahu satu saat bisa jadi buku. Lumayan buat masa pensiun nanti, bisa traktir nonton cucu-cucuku.

Aku akan bercerita mengenai masa kecil. (Di About NH, infonya sedikit banget kan? Sekarang Aku akan buka lebih dalam. True story, no drama.) Cerita masa kecilku mungkin identik dengan cerita getir, masa-masa menjalani hidup sebagai orang susah. Paling tidak secara materi. (Memangnya sekarang sudah tidak susah? Syukurlah, tidak.)

Once upon a time, Aku lahir nun jauh di sana, dalam hutan belantara Kalimantan, kota kecil Sambas. Untungnya di peta masih ada, setitik kecil. Besar di kota lebih kecil lagi. Atau mungkin tak layak disebut kota, ya, biasanya disebut pasar, Pasar Sekura. (Jangan coba cari di peta, bisa-bisa pelajaran geografi Kamu dianggap gak lulus.) Pasar di pinggiran sungai Sambas yang lebar itu, Aku tinggal di rumah kayu model ruko, tipikal deretan rumah di pasar itu. Lantai dasar, duapertiganya untuk toko – kelontong – sisanya untuk dapur, meja makan, dan kamar mandi. Kami tidur di lantai dua. Tujuh bersaudara. Satu anak satu kamar. Hahaha, bohong banget, mana mungkiinnn. Satu kamar untuk orang tua, satunya lagi untuk jagoan-jagoan. Ada lantai tiga, separuh saja, untuk gudang dan selalu menakutkanku untuk naik ke atas sana.

Masa kecil yang akrab dengan, apa ya, oh strongkeng. Tidak ada hubungannya dengan sekoteng. Tahu Kamu? Gak, baiklah, itu nama lain untuk petromak. Nah, gak tahu juga kan? Ya wis, googling sana. Akrab dengan menangkap capung pakai sisa permen karet yang sudah tawar, menggerogoti batang tebu (manies!) dan singkong mentah (glek!). Yang pasti akrab dengan mandi pagi sore di sungai Sambas yang bening itu. Bermain dan melompat dari kapal kecil atau dari balok-balok kayu di pinggiran sungai, yang menyisakan dua bekas luka jahitan di kepalaku. (Aku pikir sungai itu sungguh bening, sampai ketika dewasa pulang kampung baru tahu ternyata itu tidak bening, itu coklat susu euy. Dan anakku tidak berani waktu Aku tantang nyemplung. Cemen mereka.)

Masa kecil yang hanya makan daging ayam pas tahun baru Imlek. What?! Ya, gitu deh, hiks. (Aku selalu ingat pertama kali makan KFC di Jakarta, alamak!, duuhhh uenaknya. Malamnya aku yakin aku tidak bisa tidur, rasa-rasanya sih.) Ada juga minuman soda berperisa apel, itu pun sama hanya setahun sekali. (Minuman yang seolah menjadi mesin waktuku setiap kali kuminum sekarang.) Mungkin itu yang membuatku menyukai minuman soda sekarang, semacam dendam masa lalu. (Aku suka istilah itu. Ada beberapa dendam masa laluku, nanti kapan-kapan Aku cerita.) Di luar tahun baru, sehari-hari sih bebas, boleh makan sepuasnya. Kita sedang membicarakan nasi putih. Kalau lauk, ya harus atur-atur, tujuh bersaudara gitu lho. Sekerat dua kerat daging dan satu dua sendok sayuran harus cukup, Nak. Kalau kurang, silakan tambah, nasinya. (Tuh, Aku sudah belajar memanage sejak kecil, ya mengatur komposisi nasi dan teman-temannya.) Itu juga mungkin awal kisah cintaku dan nasi putih, tepatnya cintaku kepada nasi putih. Sampai sekarang Aku tidak bisa ngegado, makan lauk tanpa nasi. Mengkhianati masa lalu itu namanya. Terkadang, nasi putih hangat plus kecap pun dah enak, kalau darurat. (Makanya di warung-warung pendakian gunung, Aku selalu menikmati nasi putih dan kecap dan telur mata sapi. Plus cengek tentunya, cabe-cabe rawit. Hmm, nih perut tiba-tiba bunyi…).

Ayah ibuku bijak, untuk tidak membiarkan kami hidup dalam kondisi seperti itu, memutuskan eksodus, mencoba peruntungannya di Jakarta. Mengirim anak kelimanya “membuka jalan” dan menitipkannya ke adik-adiknya. Anak umur sepuluh tahun dari kampung Timbuktu, yang setiap kali naik kendaraan umum pasti butuh kantong muntah. Yang bisanya bahasa Melayu, tiba-tiba ketemu bahasa Indonesia dan Betawi. Yang pada gilirannya akan berkeringat dingin ketika ibu guru mulai meminta anak-anak muridnya membaca buku pelajaran secara bergantian. (Dia pernah sekali membaca pelajaran, judulnya Debu, dengan melafalkan dèbu – macam orang Batak itu, bah! – baru judulnya, seisi kelas menertawakannya, dan untuk pertama kalinya dia mengerti kiamat itu seperti apa.) Aku tidak pernah tahu kenapa Akulah yang menjadi “pembuka jalan” itu, dikirim sendirian, dititipkan. Misteri yang tak pernah terungkap, tapi biarkanlah. Banyak hal dalam hidup kadang lebih baik dibiarkan tetap misteri. Kalau bukan Aku, anak kelima itu, mungkinkah nasibku bertukar dengan saudaraku yang lain? Dimanakah Aku sekarang? Adakah seorang yang bernama Nicky Hogan?

Kiamatku sesungguhnya terjadi ketika suatu siang jam istirahat bermain di halaman sekolah, kejar-kejaran, dan kacamataku terjatuh. Pecah! Aku ketakutan sangat. Matilah Aku. Kiamat! Percayalah, aku menangis. Aku tak bisa sembunyikan itu. Aku tak punya uang untuk gantinya, tentu saja. Tidak mungkin ke orang tuaku di seberang laut sana, juga tidak ke om tanteku. Teman-teman SDku tahu Aku menangis, dan mereka juga tahu kenapa Aku menangis. Berapa uang jajan yang bisa mereka kumpulkan, mereka kumpulkan, hingga cukup untuk mengganti kaca baru. Merekalah malaikat kecilku. Dan Aku menangis lagi…

Kedatangan keluarga besarku, tiga tahun kemudian, tidak membuat semuanya berubah drastis. Hanya saja kami semua jadi berkumpul kembali, tinggal bersama. Tentu saja Aku senang dan bahagia. Keluargaku utuh, diriku utuh. Walaupun hari-hari kami masih harus berjibaku dengan nasib, dengan keterbatasan, dengan kekurangan. Kami harus membantu usaha keluarga – konfeksi – setiap hari, sepulang sekolah. Aku harus mengatur waktunya bermain dan waktunya bekerja, melipat dan membungkus plastik pakaian balita berbahan kaos. Jam tidur kami sangat tergantung kapan mesin-mesin jahit dan obras itu berhenti, karena di antara mesin-mesin itulah tempat tidur kami, di antara tumpukan kain-kain. Menahan kantuk selama mesin masih bekerja sampai larut malam, sama sengsaranya dengan melawan kantuk kurang tidur pagi-pagi ketika tiba-tiba mesin sudah mulai berisik.

Tetapi ada yang jauh lebih berat dari itu, hujan. Aku membencinya, masa-masa itu. (Mungkin karena itu sekarang setiap kali hujan, aku akan menjadi romantis, eh bukan, mungkin istilahnya sentimentil.) Teman-teman menyebut tempat tinggalku daerah yang bahkan anjing kencing saja banjir. (Kebangetan sih becandanya, tetapi memang pasang laut saja sudah cukup untuk merendam rumahku.) Banjir selalu hadir, jadi keseharianku, di rumah tanpa loteng itu, mengungsikanku meringkuk pasrah di atas sofa tua kalau malam hari. Setiap kali hujan, Aku ingat sering memandang ke atas, langit. Aku tak yakin kalau Aku berdoa. Aku lebih yakin saat seperti itu sorot mataku pasti ada kilatnya, membalas kilat di atas sana.

Kemiskinan tidak boleh diturunkan. Bill Gates bilang itu bukan salahku. Salah orangtuaku? Ampuunnn, kualat Aku. Aku ingat percakapan hari itu dengan kedua orangtuaku, Aku menawarkan untuk tidak kuliah, berhenti di level SMA saja. Aku mau membantu usaha keluarga. Bukan karena usaha keluarga yang sedang booming, tetapi, Aku tahu dari nada suara mereka, biaya kuliah terlalu berat untuk mereka, untuk kami sekeluarga. Seperti juga tiga tahun sebelumnya pada saat memasukkan Aku ke SMA yang lumayan top itu. Uang pangkal lima ratus ribu rupiah, entah menguras berapa bulan tabungan mereka. Entah apa jadinya kalau tawaranku diterima ayah ibuku saat itu. Seorang Nicky Hogan yang lain tentunya.

Argh, hidup terus dan akan terus mengalir seperti air sungai Sambas itu. Kadang surut kadang meluap. Aku menikmati hidup yang mengalir, selalu belajar untuk itu. Apapun yang terjadi. Suka atau duka. Bahagia atau sedih. Aku selalu percaya itulah yang terbaik. Kadang hadir telanjang di depan mata, kadang tersimpan rapat oleh waktu. Selalu seperti itu. Selalu.

Kereta api di seberang tempat Aku dan Pak Joni duduk baru saja melintas, mengganggu obrolan kami. Dari jauh Aku melihat anakku berjalan keluar dari gedung olah raga. Aku berdiri, menjabat tangan pria tua berkumis itu, tangan yang sudah empat puluh tahun melayani pembeli somaynya. Ooh, itu nyaris sama dengan tahun pertama Aku menginjakkan kaki di kota ini. Aku berjalan menuju ke mobilku, sementara si pedagang somay bersiap menaiki sepeda tuanya. Senja sudah tenggelam, berganti malam. Aku memandang ke atas. Bulan. Tidak purnama. Masih ingatkah Kau asal usulmu?

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.