“Hallo…”
“Hallo, Rani…, lagi ngapain?”
“Telpon…”
“Jawaban klasik setiap kali kutelpon.”
“Ya kan memang lagi telpon.”
“Hahaha…”
“Dakar, apa yang terjadi tadi pagi?”
“Eh…”
“Apa yang kamu lakukan terhadap Bu Astuti?”
“Ng…”
“Kamu memimpin boikot itu?!”
“Ran, aku hanya mencoba melawan ketidakadilan, ketidakpedulian.”
“Apanya…?”
“Kemarin kamu tahu, class meeting kita selesai jam 11 malam. Aku hanya minta ulangan Geografi hari ini diundur minggu depan. Itu saja kok.”
“Kamu masih emosi karena kelas 3Dmu kalah dengan kelasku? Kamu lampiaskan dengan cara boikot? Kamu hanya cari masalah.”
“Emosi? Mungkin. Sudahlah, jangan bahas pertandingan semalam. Dengan Bu As, aku sudah bicara baik-baik kok, tapi dia tak peduli.”
“Benar Bu Astuti sampai menangis tadi? Kamu pernah dengar kan soal kedekatannya dengan KepSek kita? Artinya kamu akan berurusan dengan Pak Marbun. Dakar, besok pagi temui Bu Astuti, minta maaf…”
“Haruskah? Apa yang salah dengan aku?”

Kepala batu. Pemberontak. Tapi harus kuakui, dia seorang tipikal pemimpin. Semalam seluruh isi kelasnya hadir di final bola voli putra, tidak kurang satupun. Murid kelasku saja hanya separuh yang hadir. Dua kelas jurusan sosial yang selalu bersaing, kelasku melawan kelasnya. Kami menang tapi aku salut dengan ketua kelas yang satu ini, tidak bermain tapi memimpin koor kelasnya dengan kompak. Dan tadi pagi, urusan boikot ulangan itu menggemparkan satu SMA kami. Kabarnya, tak ada satupun anak kelasnya yang mengeluarkan pulpen dan kertas bersiap ulangan. Semua duduk tegak memandangnya yang menggelengkan kepala perlahan di depan kelas setelah bicara dengan guru geografi itu. Semua patuh kepadanya, dan rela.

Semoga besok kau baik-baik, Dak.

Dakar. Nama yang asing pertama kali kudengar, tiga tahun lalu. Anak perantauan dari Pangkalan Bun. Di SMA kami, semua teman memanggilnya Kar. Aku lebih suka memanggilnya Dak, dan aku tahu dia suka panggilan itu. Dia tidak menonjol saat kelas satu, maklum anak baru dibanding kami-kami yang sudah saling kenal sejak SMP, bahkan SD di sekolah yang sama. Kami sekelas waktu kelas dua, dan menjadi teman dekat. Plus, dia sering menelpon ke rumahku, dua tiga hari sekali. Tidak, tidak berpacaran. Teman-teman sering cerita bahwa dia senang padaku. Aku tahu itu dan aku dapat merasakannya. Mencintaiku? Dia tak pernah mengucapkan kalimat itu. Aku? Aku terus menunggu.

*

“Hallo…”
“Hallo Rani…, lagi ngapain?”
“Dak, apa yang terjadi tadi pagi?”
“…”
“Dak…?”
“Aku dipanggil Pak Marbun…”
“…”
“…”
“Dak…?”
“Ya?”
“Lalu?”
“Aku dikeluarkan…”
Ya Tuhan! Tanganku gemetar memegang gagang telpon itu. Lidahku mendadak kelu, mataku terasa panas.
“Ayahku sudah dihubungi TU sekolah. Dia marah besar. Kepadaku. Besok pagi aku diminta ayahku pulang.”
Aku diam.
“Ran…”
“He eh.”
Aku sudah tidak bisa berkata-kata.
“Ran, aku…”
“Dak, besok besok kita telponan lagi ya.”
Aku segera meletakkan gagang telpon, setengah berlari menuju kamarku, sebelum pecah lapisan bening di mataku.

Aku merindukan kalimat itu. Kalimat yang tidak pernah terucap di antara kami. Aku benci kamu, Dak. Pengecut yang tak berani mengucapkannya. Andai saja, sekali. Sekali saja kau ucapkan, mungkin tidak akan ada cerita ini. Cerita kamu memimpin kelasmu boikot mungkin tak pernah akan ada. Aku pasti bisa mementahkan idemu. Menjinakkan sifat berontakmu. Aku sungguh percaya itu. Aku percaya dengan kekuatan cinta. Cinta yang mampu memindahkan gunung, membelah lautan, melukis angkasa. Cinta yang selembut gerimis tipis, sehalus tiupan angin senja, sesejuk rindang pohon rimba. Cintaku akan memelukmu. Dalam hangat dan tenang.

Tetapi mungkin kekuatan cinta jugalah yang membungkammu untuk mengucapkan itu. Kau ikat erat-erat kalimat itu agar tak melompat keluar dari mulutmu, kau kunci rapat-rapat di salah satu sudut hatimu, kau tekan dan telan kembali setiap kali kalimat itu berontak. Kau tak mau mengganggu persahabatan kita? Itukah? Kau minder karena kau bukan apa-apa, hanya anak perantauan seberang sana? Atau kau terlalu takut dengan kalimat penolakan atas kalimat itu? Satu kalimat yang dapat membuat dunia berhenti berputar. Satu kalimat yang dapat melambungkan kehidupan, sekaligus mengundang kematian. Satu kalimat yang dapat membelokkan arah jalan hidup kita, mengubah takdir yang dituliskan untuk kita.

*

Di sela-sela kerumunan ramai, aku memandangnya dari jauh. Dia berkumis. Berjenggot melingkar di sekeliling mulutnya. Rambutnya sebahu namun diikat. Oh, ada anting hitam di telinga kirinya. Buatku, tampang pemberontaknya masih tetap terlihat. Entah kepala batunya. Tiga puluh tahun sudah kami tidak bertemu. Reuni SMA ini akhirnya terjadi. Reuni akbar malah, di aula sekolah kami dulu. Jaman sekarang dunia memang menjadi begitu kecil, tekhnologi membuat semuanya begitu dekat, jarak menjadi pendek. Mengumpulkan ratusan teman-teman SMA dari mana saja terasa mudah, termasuk Dakar yang seolah menghilang setelah tiga puluh tahun.

“Rani…”

Aku terkejut begitu melihatnya sudah di depanku. Sorot matanya tetap tajam. Argh, aku ingat dulu pernah menegurnya, jangan memandang wanita seperti itu. Dan waktu itu dia hanya terbahak.

“Apa kabar?” Tangannya disodorkan kepadaku.
“Dakar…?” Aku tergagap, padahal sudah tahu itu dia. Kusambut tangannya.
“Saya.”
“Apa kabar, Dak?” Aku dapat merasakan dadaku bersorak ketika mengucapkan kembali panggilan itu.

“Sehat. Orang kampung selalu sehat, hahaha…”
“Kampung? Memangnya kamu tinggal dimana sekarang?”
“Sekarang? Tidak sekarang. Sejak dulu, sejak terakhir kali kita ketemu, atau terakhir kita telponan. Pangkalan Bun.”
“Oh…” Aku tak tahu mesti melontarkan kalimat apa.
“Kamu Ran?”
“Eh, aku tetap di Jakarta, sejak dulu juga. Membantu suami yang buka bisnis bengkel.”
“Oh…”

Aku cerita mengenai putri sulungku yang baru saja diterima kuliah di AS. Adiknya yang masih kelas 2 SMA dan si bungsu yang naik kelas 5 SD. Suamiku yang tak dia kenal, teman SMP ku, yang SMA dan kuliahnya di Australia. Aku menunjuk ke arah suamiku yang sedang berkerumun ramai dengan teman-teman SMP nya, teman-temanku juga.

“Kamu, Dak?”

Dia kerja serabutan, lebih sering sebagai guide turis yang berkunjung ke Tanjung Puting atau yang ingin merambah belahan hutan Kalimantan lainnya. Dia banyak cerita mengenai orang utan, lengkap dengan nama marga dan silsilahnya. Menawarkanku sekali waktu berkunjung ke sana, bersama keluargaku.

“Keluarga kamu, Dak?”
“Hahaha, tidak. Eh, belum. Eh, tidak. Hahaha…”

Mulutku terkunci. Mataku mencoba mencari suamiku. Dia sudah bergeser ke kelompok yang lain lagi. Aku berpaling kembali ke Dakar.

“Dak, aku ke sana ya.”
Aku mengangkat daguku, menunjuk. Dakar melihat ke sana, lalu tersenyum.
“Sampai ketemu lagi, Ran.”
Tangannya dijulurkan kepadaku. Aku menyambutnya.
“Aku boleh mengatakan sesuatu, Ran?”
Aku menatapnya. Sorot matanya tidak berubah.
“Hutangku, di telpon terakhirku…”
Firasatku tiba-tiba aneh. No! Jangan katakan itu. No, please.
“Aku datang ke reuni ini untuk itu. Setelah ini, mungkin tiga puluh tahun lagi baru kita ketemu. Hanya saja ini mestinya kukatakan tiga puluh tahun yang lalu, Ran. Maafkan aku…”

Aku menunduk.

“Aku mencintai kamu.”

Aku terpejam. Mataku memerah. Aku melepaskan genggaman tanganku. Memandangnya dengan marah. Aku berjalan meninggalkannya. Aku benci kalimat itu.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

2 replies on “AKU BENCI KALIMAT ITU

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.