Setiap Rabu dia akan ke Monumen Nasional
Berjalan kaki dari kontrakannya di kawasan padat Karang Anyar
Menyusuri Pasar Baru yang dahulu pernah menjadi primadona dan Lapangan Banteng yang sekarang tiba-tiba jadi ajang rebutan pengakuan
Melewati jalan yang memisahkan Katedral dan Istiqlal
Dia selalu bersemangat kalau sudah melihat menara cantik gereja dan kubah megah mesjid itu
Walau dia tidak pernah sekalipun masuk ke kedua bangunan tadi
Tidak juga berniat, hingga hari ini
Untuknya, hubungan dia dan penciptanya, kalaupun benar dia diciptakan, walau kadang dia meragukan itu, adalah sesuatu yang sangat pribadi, dan sangat sakral
Karenanya dia tidak suka sama sekali kalau urusan yang satu ini dicampuri oleh orang lain
Sama tidak sukanya dia mencampuri urusan satu ini kepunyaan orang lain
Makanya dia selalu muak dengan orang-orang yang suka campur mencampur urusan satu ini, dan terutama dengan hal lainnya
Dia merasa, dia sudah di tingkat yang hanya dia sendiri saja yang paham
Tidak akan tergapai oleh orang lain, apalagi orang-orang awam yang masih dangkal pemikirannya
Setiap Rabu, pagi pukul lima tepat, dia beranjak dari gang sempit kontrakannya, yang hanya pas-pasan untuk lajur dua sepeda motor
Dengan got kiri kanan selebar limapuluh sentimeter yang lumayan lancar alirannya
Setelah dibangunkan azan subuh mesjid kecil dekat tempat tinggalnya
Berbekal seduhan kopi sachet panas dalam tumbler hijau usang
Dan sepotong roti coklat yang dibeli di minimart malam sebelumnya
Dalam ransel merah kusam yang seletingnya sering macet
Tiba di Monumen Nasional, selalu, bahkan setelah dua puluh tahun
Dia akan duduk di undakan bata-bata paving block yang sudah tak rata
Bata-bata merah, tangga dekat patung kepala Chairil Anwar dengan sorot mata jalangnya
Yang membelakangi patung Pangeran Diponegoro gagah di atas kudanya
Dia akan memandang para pejalan kaki dan para pelari pagi lalu lalang
Memperhatikan para tukang sapu taman, yang sebagian besar sudah dikenalnya, mulai bekerja
Ketika matahari mulai sedikit terik dan air mancur di kolam antara kedua patung sudah beraksi, dia akan kembali berjalan kaki pulang
Melalui rute yang sama seperti berangkat tadi
Tiga puluh tahun lalu, dia selalu ingat
Pertama kali dia ke Monumen Nasional
Hari Rabu, bahagianya dia pagi itu, bangganya luar biasa
“Monas, aku pergi ke Monas!”
Ayahnya membawanya kemari
Hanya lima hari setelah dia menginjakkan kaki di Jakarta
Dari kampung, di seberang laut sana
Setelah menempuh perjalanan air, darat, dan udara, mencapai Ibukota
Kampung yang selalu dirindukannya
Walaupun mungkin dia terlalu bocah saat meninggalkan tanah kelahirannya
Tidak banyak kenangan yang dia mampu simpan
Hanya beberapa potongan masa kecilnya
Bermain di kebun singkong, bernyanyi di pelataran rumah, berenang di sungai
Itu saja yang bisa dia ingat
Tapi lebih dari cukup untuk dia rindukan
Untuk sekedar hiburan di usianya sekarang
Usia penuh beban dan hidup pas-pasan
Siang bertarung di jalanan panas berdebu dan gang-gang ramai Jakarta Utara dan Pusat
Malam berkubang di kamar sempit gerah yang disewanya perbulan
Di Monumen Nasional ini dia selalu terkenang ayahnya
Yang dulu menggandengnya berkeliling
Naik ke puncak tugu, dan dia memeluk erat pinggang ayahnya
Sekali itu saja dia naik ke atas sana, dan juga sekali itu saja dia naik lift
Dia ingat di bawah patung Pangeran, mereka sempat berfoto
Entah dimana foto itu sekarang
Raib, bersama ayahnya yang hilang entah kemana saat masa Kerusuhan 98
Setiap Rabu dia selalu menyempatkan memandang wajah Chairil Anwar
Dari jauh, tempatnya duduk di undakan bata-bata merah itu
Selalu saja ada rasa sedih
Pun setelah sekian banyak Rabu
Sekian banyak tahun
Entah karena ayahnya
Entah karena dirinya
Atau mungkin juga karena penyair itu
“Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak” ~ Chairil Anwar
Dua tahun lalu dia bertemu perempuan itu
Mereka berkenalan di sini, di Monumen Nasional, dekat patung kepala Chairil Anwar
Perempuan dari kampung Pengging
Daerah Boyolali tuturnya
Berambut sepundak, tubuh setinggi pundaknya
Yang menghampirinya dan mengajaknya berbincang
Yang bekerja menjadi penjaga sebuah toko kecil di Pasar Baru
Yang suaminya menjadi TKI di Arab Saudi
Yang hanya bisa ke taman ini sebulan sekali, jatah libur dari toko
Rabu terakhir setiap bulannya
Perempuan sederhana namun bermata indah
Yang menyodorkannya roti berselai moka
Pertama kali dia merasakannya dan sekarang menjadi roti kesukaannya
Perempuan yang selalu bersemangat bercerita tentang desa dan sawah
Bercerita mengenai keramahan dan keindahan
Perempuan yang membelikannya tumbler merah baru di bulan kelima pertemuan mereka
Lalu bulan ketujuh membelikannya ransel kecil merah baru
Perempuan yang tertawa bahagia melihat wajahnya yang tegang saat menerimanya
Ya, sepanjang umurnya dia tidak pernah sekalipun menerima pemberian orang lain
Dan sepanjang umurnya tidak ada seorangpun yang pernah memberinya hadiah
Perempuan itu mungkin tidak tahu ada begitu banyak macam rasa dalam dadanya saat itu
Bukan, tidak ada rasa itu sama sekali
Perasaan diperhatikan, itu saja sudah merupakan surga untuknya
Cukup itu saja, cukup itu sudah
Hubungan ini terlalu indah untuk dirusak, terlalu berharga untuk dikhianati
Dia tidak mau membiarkan ada perasaan lain yang bakal mengganggu
Dia cukup mematikan kehendak, dan semua rasa lain akan berpihak kepadanya
Perempuan yang selalu mendengar ceritanya dengan mata indahnya tanpa menyela
Tanpa mengubah subyeknya menjadi dirinya sendiri
Itulah yang paling dia suka
Perempuan tabah,
Paling tidak menurutnya
Yang hampir sepanjang hari dan bulan berkutat di toko tekstil majikannya
Hanya berluang satu hari Rabu saja
Perempuan setia,
Paling tidak menurutnya
Yang sabar menunggu kabar kepulangan suaminya
Sudah dua tahun tujuh bulan mengais rezeki di negeri teluk sana
Perempuan baik hati,
Paling tidak menurutnya
Yang selalu mengajarinya untuk bersabar
Menjadi seorang supir bajaj
Walaupun setoran selalu mepet
Apalagi setelah jalanan diserbu Gojek
Hari ini, pukul enam tiga puluh pagi
Rabu terakhir bulan Oktober
Bulan yang mulai basah dan berhujan
Perempuan itu baru saja pamit dari hadapannya
Sekaligus pamit untuk kembali ke kampungnya, sore nanti
Toko majikannya gulung tikar
Jualannya tambah sepi dari hari ke hari
Dan suaminya di seberang sana, memintanya kembali saja ke kampung
Sambil menunggu kepulangannya
Akhir tahun nanti
Tidak banyak cerita pertemuan kali ini
Sekilas saja untuk pamit itu
Dan ciuman perpisahan di punggung tangannya
Ketika perempuan itu beranjak berjalan meninggalkannya, dia duduk kembali di undakan bata-bata merah itu
Dia menunduk, tidak berniat memandang perempuan itu untuk terakhir kali
Dia takut kalau perempuan itu menoleh ke belakang, ke arahnya
Dan perempuan itu memang menoleh ke belakang, ke arahnya
Pagi ini, matahari tak lagi terik
Sinarnya tengah tertutup awan kelabu
Dia memandang puncak emas itu
Dia memandang Pangeran Diponegoro di atas kudanya
Dia memandang barisan air mancur
Dia memandang Chairil Anwar di atas sajak Krawang-Bekasi-nya
Dia bangkit dari tempat duduknya
Berjalan pelan, pulang, layaknya pahlawan kembali dari medan perang
Kalah atau menang, dia tak tahu
Kalau dia bersyukur hari ketika pertama kali mengenal perempuan itu, pantaskah dia mengutuk hari ini?
“Hidup hanya menunda kekalahan” ~ Chairil Anwar
NH