Adakah hal di dunia ini yang tanpa risiko? Tak ada. Sekecil apapun kemungkinannya, tetap saja ada risiko. Apapun itu.
Jadi, kalau ada keputusan yang kita ambil atas sesuatu, apapun itu, pastilah risiko menyertainya. Seperti juga halnya ketika kita bicara mengenai investasi. Saham. Risiko adalah bagian daripada investasi itu sendiri. Perusahaan bisa turun kinerjanya bahkan pailit, dan saham kita turun harganya atau bahkan nihil. Jadi, lagi, kalau ada tawaran investasi kepada kita dengan embel-embel dijamin tanpa risiko, itu bukan investasi namanya. Aku tidak tahu apa nama yang tepat untuk itu. (Apa ya namanya? Ah, sudahlah!)
Minggu lalu Aku berkesempatan hadir berbagi di acara Investment Festival di Bandung (Terimakasih undangannya KSEP ITB). Aku bicara mengenai Bunga Majemuk dan dua Surat Untuk Anakku. Di sesi yang Aku tak hadir, (Beruntung juga tidak hadir, fiuh!) diceritakan mengenai “bisnis zaman now” yang menawarkan keuntungan sekian belas persen pertahun, dijamin!
#tetibamerasalelah
Di saat yang hampir bersamaan Aku membaca berita mengenai seorang Sean Russel, mengenai “investasi zaman now” lainnya (investasi? beuh!) yang sempat tibatiba ngetop banget, yang jumlah “investor”nya di Indonesia dikabarkan mendadak jutaan (semoga angkanya salah, kasihan mereka). Berikut beberapa kutipan dari berita money.cnn.com itu.
“It was devastating, quite traumatic, really,” Russell said. “I’ve seen stories on the news of billionaires going bankrupt, and you think how can that be? How on earth did you lose that amount of money? And yet, here I am in that position.”
An estimated $400 billion has been wiped off since January. And Sean Russell’s life savings were among them.
Russel is not alone.
“Retail investors, students, housewives, even grandma was driven in by the hype. They were told by the media that this was an opportunity of a lifetime. They bought at the top and are now sitting on heavy losses.”
#lebihdarilelahituapayanamanya
Banyak data dan informasi yang menunjukkan bahwa investasi “zaman yesterday” (yup, ini investasi!) – saham – lah yang dapat membuat kaya. Kita sering mendengar nama-nama investor sukses itu, lokal dan dunia. Coba periksa juga kenaikan indeks saham kita, 10 dan 20 tahun terakhir. Dan ketahuilah, duapertiga saham yang saat ini ada di Bursa Efek Indonesia dalam 10 tahun terakhir mencatatkan kenaikan, 5 hingga 40 persen, per tahun.
Atau yang lebih sering kita dengar hanya cerita seram menakutkan tragis menyedihkan? (Bad news is a good news, harusnya. Bad news macam ini mestinya bisa jadi bahan positif untuk bahan pelajaran dan evaluasi, tetapi sebaliknya kok malah memberi efek merusak.) Tanyakan kepada mereka, apa yang telah mereka lakukan. Investasi atau spekulasi? Panikan dan tidak sabaran? Serakah alias greedy? Mereka tidak mungkin tidak bagian dari itu. Kenapa mengambil risiko membeli saham yang sepertiga itu, bukan yang duapertiga tadi? (Pertanyaan terakhir ini konyol bukan? Tetapi begitulah pertanyaannya, tanpa ralat. Think about it.)
Yuk Nabung Saham, bayi yang masih sering didzolimi, apakah tidak memperhitungkan risiko untuk para investor pemula, terutama kaum marjinal?
(Atau tujuan sebenarnya adalah untuk “mengarahkan orang menjadi trader, bukan menjadi investor, karena jika semua orang jadi investor pendapatan bursa menurun seiring volume jual beli harian yang sedikit”? Itu bentuk pendzoliman terakhir yang Aku baca. Kawan, kita harus sekalikali – kalau tidak mau seringsering – berpikir kepentingan orang lain dibanding kepentingan diri sendiri. Itu saja jawabannya, Sayang.)
Eh, kok Yuk Nabung Saham? Gak bisa move on? Hahaha. Maafkan, tak akan. Menabung saham (tanpa kata “Yuk”) bukan slogan dan program kerja semata. Menabung saham adalah gaya hidup, dan itu merupakan bagian dari Aku – atau Kita? – menjalani hidup finansial.
Lalu risikonya? Tidak semua orang yang bisa naik sepeda pernah jatuh pada masa belajarnya. Berapa banyak dari kita yang bisa mengendarai mobil pernah mengalami kecelakaan fatal? Kita semua mengerti risiko bersepeda dan berkendara, tanpa harus mengalaminya, bukan? (Dan tidak perlu harus menjadi pembalap ulung juga, kan? Cukup untuk bisa mengantar kita ke tujuan.) Mari bersama rasional, mari bersama mengenal risiko, mari bersama menjadi kaya.
Dalam perjalanan pulang Jakarta, radioku memutarkan lagu ini.
When you walk through a storm
Hold your head up high
And don’t be afraid of the dark
At the end of a storm
There’s a golden sky
And the sweet silver song of a lark
Walk on through the wind
Walk on through the rain
Though your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on
With hope in your heart
And you’ll never walk alone
You’ll never walk alone
Dan Aku berpikir mempersembahkan lagu ini untuk Anda yang tengah galau saat ini. Galau soal saham.
NH