Jumat sore minggu lalu saya berkesempatan diajak berbincang dengan sekitar duapuluhan karyawan sebuah perusahaan. Apa lagi kalau bukan soal investasi? Setelah satu jam tanya jawab yang seru tanpa henti, di akhir acara saya minta izin untuk mengajukan satu pertanyaan. “Apa yang membuat Anda selama ini, sebelum acara ini, untuk tidak memulai berinvestasi, khususnya saham?” Dan jawabannya, seperti telah diduga, “Risiko.”
Saya sungguh penasaran dengan hubungan antara manusia dan risiko, serta kemampuan manusia menerima dan mentolerir risiko. Kenapa manusia selalu menghindar untuk mengambil risiko? Kita selalu menolak perubahan, yang berarti juga kita menghindari risiko. Umumnya kita selalu melakukan hal yang sama berulang-ulang, terpaku dengan jadwal rutin harian kita, ke pasar dan mall dan supermarket yang sama, membeli produk dengan merk yang sama, bahkan dalam jumlah yang sama. Alam bawah sadar kita selalu mendoktrin kita, kenapa mesti mengubah sesuatu yang sudah nyaman? Karena kita cenderung takut dengan kegagalan. Takut ke supermarket lain, takut produk lain. Termasuk, misalnya, takut menyapa orang baru, karena takut ditolak atau tersakiti.
Tetapi ingatlah, pada akhirnya toh, hidup selalu adil. Ya, adil karena ketika kita hanya melakukan yang biasa kita lakukan, kita juga hanya akan memperoleh yang biasa kita peroleh. Dan itulah yang terjadi dengan sebagian besar dari kita. Hidup dalam “zona nyaman” kita. (Anda yakin itu zona nyaman Anda sesungguhnya?) Padahal pastinya ada zona nyaman yang sesungguhnya, yang jauh lebih baik dari kondisi kita saat ini. Dan padahal, to risk is to grow.
Kembali ke soal investasi saham, dan produk investasi pasar modal lainnya, ada pertanyaan bagus yang dapat kita lontarkan, juga kepada diri kita sendiri, sebagai instropeksi diri.
Q: “Bagaimana kalau saya berinvestasi tetapi pada akhirnya merugi?”
A: “Bagaimana kalau Anda tidak berinvestasi?”
Sama juga pertanyaannya dengan tidak mencoba hal-hal baru lainnya. Masing-masing dari kita tahu jawabannya. We are going nowhere. Tetap dengan rutinitas kita yang sama, ke pasar dan mall dan supermarket yang sama, membeli produk dan merk dan jumlah yang sama. Dan hal-hal sama lainnya.
Virginia Satir, seorang Family Therapist, mengatakan, “Most people think that the will to survive is the strongest instinct in human beings, but it isn’t. The strongest instinct is to keep things familiar.” Insting manusia cenderung bertahan pada keadaan yang dianggapnya familiar, situasi nyaman tadi. Dan mereka tidak menyadari banyak pilihan lain yang lebih baik. Ketika kita ingin mencoba sesuatu yang baru, selalu akan ada pertanyaan menghantui. “Apa yang akan terjadi bila kulakukan? Akankah hidupku menjadi berbeda? Apakah nantinya akan lebih baik atau lebih buruk dari sekarang?” Kita tak akan pernah tahu kalau kita tidak pernah mencoba. Kita tak akan pernah tahu apa yang menunggu kita di ujung sana.
To risk and to fail, is better than to never have risked at all. Anda setuju?
Ketika kita membeli saham (ingat selalu, yang berarti kita membeli perusahaan), dan kita tidak mengerti perusahaan yang kita beli, itulah risiko. Ketika kita membeli saham dengan dana keperluan jangka pendek (bukan uang menganggur untuk tahunan ke depan), itulah risiko. Ketika kita membeli saham dengan kemampuan di atas kemampuan kita, itulah risiko. Ketika ketiga ketika di atas tidak melekat pada diri kita pada saat berinvestasi, risiko kita sudah jauh berkurang. Kemungkinan merugi seperti pertanyaan Q di atas menjadi kecil. Risiko yang tertinggal hanyalah pada kinerja perusahaan yang kita miliki. Itu saja. Risiko yang seharusnya sudah sangat diminimalisir. Dan seharusnya sangat dapat ditolerir, sebagai seorang pengusaha.
Indonesia adalah negara layak investasi. Anda sudah tahu. Dunia mengakuinya. (Sudah dengar juga Indonesia baru saja menjadi merk negara – yang di antaranya menunjukkan lingkungan yang sangat menarik untuk berinvestasi dan mendorong investasi masuk – paling berharga di dunia, peringkat ke 16, mengungguli seluruh negara di kawasan Asia Tenggara lainnya? #banggaindonesia #makincintaindonesia) Kita semua memiliki hak, seperti juga memiliki pilihan. Pilihan menjadi lebih sejahtera, atau pilihan kehilangan kesempatan terbaik untuk itu. Padahal tidak perlu uang banyak dan tidak perlu pintar banyak. Kita bisa – right here and right now – segera memulainya.
Akhirnya pertanyaannya mungkin begini. Berapa besar kemampuan kita menerima risiko? Kalau ada kemungkinan 10 persen saja dapat meningkatkan kualitas hidup kita, maukah kita ambil? Bagaimana kalau 50 persen? Kalau 100 persen? Ups!
NH