“Smoga Tuhan, melindungi kamu
Serta tercapai semua angan dan cita citamu
Mudah mudahan diberi umur panjang
Sehat selama lamanya…” ~ Jamrud
Akhir Agustus 2015, sebuah artikel singkat muncul di salah satu koran lokal Jakarta. Di halaman pertama, sisi bawah, berjudul “Yuk, Nabung Saham..”. Awalnya, setelah tulisan itu, sebenarnya direncanakan hanya menjadi sebuah slogan lokal untuk internal Bursa Efek Indonesia dalam kegiatan-kegiatan pengembangan investor.
Namun, 12 November 2015, slogan itu lalu menjadi sebuah “kampanye nasional”, diluncurkan dan diresmikan langsung oleh Wakil Presiden RI, Bapak Jusuf Kalla. Kampanye dalam rangka mengejar ketertinggalan jauh dari ”Ayo ke Bank” dan “Mari Berasuransi” yang telah bergaung sebelumnya. Walaupun, seperti biasa kita, tentu saja ada yang pro dan banyak yang kontra, terutama sehubungan dengan pemakaian kata “nabung”. (Penulis pernah menyampaikan pandangannya mengenai hal ini, baca “Nabung, Sebuah Definisi Baru” di Kompas, 17 November 2016.)
Tidak perlu lagi berpolemik mengenai hal itu, karena setelah tiga tahun digulirkan, rasanya harus diakui ada hasil positif yang mulai dituai. Bola salju yang bergulir semakin besar dan membesar. Jumlah investor saham sudah meningkat 100 persen! Dan dari berbagai kalangan, termasuk dan terutama yang selama ini dipandang sebelah mata. (Investor reksadana naik bahkan lebih dari itu, kalau mau mengatakan bahwa itu adalah dampak sampingan efek domino dari kampanye. Disclaimer: bukan sebuah klaim.) Eforia dan atmosfer positif perkembangan jumlah investor pasar modal Indonesia turut memicu minat emiten-emiten baru berlomba mencatatkan saham perusahaannya di Bursa, yang terus mencetak rekor baru jumlah IPO per tahunnya (dan jauh melampaui catatan IPO baru negara tetangga seAsean). #kitamemangkeren
Baiklah, kalau itu sisi positifnya. Tidakkah ada sisi negatifnya? Seperti yang ditakutkan, tidakkah penyampaian nyawa kampanye (termasuk kata “nabung” tadi) tidak sampai dengan utuh ke masyarakat, yang pada akhirnya malah merugikan dan menyesatkan?
Mari kita lihat sepintas data sederhana ini, data terakhir. Di tengah Indeks Harga Saham Gabungan yang turun sepanjang tahun 2018, rata-rata jumlah investor saham yang melakukan transaksi per bulan ternyata tidak stagnan atau ikut menurun. Sebaliknya tahun ini malah mencatatkan kenaikan lebih dari 20%! Indeks boleh naik turun, jumlah investor yang bertransaksi bulanan terus saja bertambah. (Nyangkut dan rugikah portofolio mereka di tengah gonjang ganjing pasar? Mungkin. But, who cares? Mereka tidak sekedar beli saham, mereka nabung saham. Angka bulanan itu indikasinya.) Kalaulah spirit kampanye tidak tepat dan tidak sampai dengan tepat, bukankah data di atas tidak akan pernah terjadi, malah angka-angka yang saling bertolak belakang? (Dan teman saya di aset manajemen geleng-geleng kepala dengan tambahan jumlah investor reksadana per hari yang fantastis, dan data in flow yang jauh melampaui out flow.) Mungkin cara berpikir yang terlalu dangkal, tetapi saya tidak mampu lebih rumit dari itu.
Tentu saja sebuah kampanye tanpa dukungan sumber daya manusia dan infrastruktur, tidak akan menghasilkan apapun. Nyatanya memang kedua faktor tersebut – untuk saham maupun reksadana – memainkan peran begitu besar dalam menciptakan angka-angka ciamik di atas.
Selamat ulang tahun “Yuk, Nabung Saham..”!
Teruslah bergulir, teruslah memajukan kesejahteraan kami semua.
Amien…
NH