“Play is where life lives. Where the game is the game. Play is the answer to the puzzle of our existence.” ~ DR. George Sheehan
Ini cerita hari Minggu lalu. Sejak pagi sampai siang, saya dan beberapa teman berlari. Sebelum car free day pukul 06.00 dimulai, kami sudah menjejakkan langkah memutari stadion GBK beberapa kali, berkeliling kawasan Senayan, ke arah Sisingamangaraja, dan “tour” di jalan-jalan daerah rumah-rumah mewah area Senopati dan sekitarnya. Merambah SCBD, kemudian berlari penuh sepanjang CFD dari ujung Tugu Api hingga Air Mancur di Monas, plus bonus ke depan Istana Merdeka, sebelum berbalik dan berbelok ke Stasiun Gambir. Masuk selintas di kawasan Monas yang sudah sepi ditinggal pengunjungnya. Ya, pukul 10 lebih, matahari sudah panas mengusir para penikmat CFD, termasuk ketika kami menyusur balik Thamrin Sudirman yang sudah lengang. Yang tersisa hanya para pedagang yang tengah membereskan sisa dagangannya, dan kendaraan-kendaraan yang antri menunggu di mulut-mulut jalan, bersiap masuk kawasan. Memang, akhirnya, belum tuntas kami kembali ke start kami di fX, jam sudah menunjukkan pukul 11.00. Berpindah dari aspal panas ke trotoar sepanjang Sudirman yang sekarang sudah luar biasa mulus tanpa lubang, bersih dan lebar.
Untuk kami, ini pertama kali kami berlari di CFD sejak sebelum dimulai pukul 06:00, hingga sekitar 20 menit setelah pukul 11:00 ketika CFD sudah selesai. Sebuah latihan. Latihan serius. Ya, hanya kurang dari tiga minggu sebelum kami harus berlari 160K di Sumbawa nanti. Panas Jakarta tadi pagi hingga siang sudah terbilang panas, dan kami tahu serta sadar betul bahwa kembali ke Sumbawa, berarti akan berhadapan dengan matahari yang jauh lebih panas, lebih ganas. Apa sih yang dicari? Pertanyaan yang sering kali dilontarkan kenalan. Atau kalaupun tidak sampai terucap, hanya tertahan di lidah, gelengan kepala dan raut wajah kadang sudah cukup menunjukkannya. Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya lantas berpikir. Atau mungkin mengeluh. Kenapa saya memilih berlari ultra marathon? Kenapa saya berlari?
***
“Kenapa mendaki gunung?” Pertanyaan yang senada dengan itu. Dan nyaris tidak ada satupun jawaban yang memuaskan, bahkan oleh para pendaki itu sendiri sekalipun. “Because it’s there!” mungkin adalah ungkapan level frustrasi tertinggi yang bisa terlontar. Frustrasi dalam menjawab, sefrustrasi mencari jawabannya. Kebenarannya tentu saja tidak terletak di dalam kalimat itu, dan tampaknya memang terlalu sulit terungkap dan diungkapkan.
Demikian pula untuk pelari, khususnya pelari ultra marathon. Mungkin tidak pernah ada jawaban sama untuk para pelakunya. Tidak berhak mewakili pelari lainnya, saya mencoba bicara tentang diri saya saja. Mencari podium? Heh, bisa diketawain tetangga. Mencari popularitas? Ah, rasanya tidak. Menaklukkan lintasan? Duh, saya tidak pernah nyaman dengan istilah penaklukan. Mencari sensasi? Oh mungkin, tetapi lebih kepada sensasi untuk diri sendiri. Mencari media meditatif kontemplatif? Hmm. Mencari me-time? Entahlah.
Menggemari lari sejak kuliah. Berlanjut hingga masa kerja, sampai suatu hari seorang rekan kantor menyodorkan pengumuman lomba lari 10K dan 5K di Ancol, beberapa tahun lalu. Anak-anak saya mungkin waswas menunggu di garis finish ketika saya menyelesaikan lomba 5K pertama saya. (“Kirain gak selesai.”) Namun mereka juga yang mendoakan saya, di kartu ulang tahun saya tahun berikutnya, untuk saya bisa mengikuti full marathon satu saat. Dan doa itu (doa ayahnya juga) terkabul di tahun berikutnya, di Bali. Berlanjut ke ultra marathon pertama di Singapura tahun berikutnya. Selanjutnya, marathon dan ultra marathon bergulir dari tahun ke tahun. Hidup juga terus bergulir. Begitulah.
“I know only two things. One, I will be dead someday; two, I am not dead now. The only question is what I shall do between those points.” ~ Running & Being
Kembali ke pertanyaan, kenapa saya berlari?
***
Sepanjang minggu lalu, saya membuka kembali buku favorit saya, “kitab suci” lari saya, “Running & Being”-nya DR. George Sheehan. Mencoba mencari jawaban yang saya sendiri tidak tahu, dan tidak yakin.
“There is nothing more characteristic about children than their love of play. If there is anything children careless about, it is work and money and power and what we call achievement.”
Awal sembilanbelasdelapanpuluhan. Nama kecil saya akan dipanggil-panggil oleh teman-teman, dua atau tiga orang, di luar pagar, subuh ketika pagi belum hadir sempurna dan langit masih berselimut hitam. Ditemani lampu-lampu jalan yang bernyala lemah, kami akan berlari dalam langkah-langkah kaki kecil kami menyusuri jalan aspal. Dari kediaman kami ke Stasiun Kota, pulang pergi sekitar 5 kilometer. Kami berlari, berjalan, dan akhirnya beristirahat di air mancur depan stasiun kereta api tersebut, sebelum kembali. Kami bermain. Kami, anak-anak, bermain. Ya, berlari adalah bermain. Seperti kata Plato, “Life must be lived as play, playing certain games, singing and dancing.” Homo ludens, kata Johan Huizinga. Makhluk bermain.
“What happens to our play on our way to becoming adults? Downgraded by the intellectuals, dismissed by the economists, put aside by the psychologists.”
Kita kehilangan. Sadar atau tidak sadar. Usia perlahan menghapus bermainnya kita. Pekerjaan mengekang bermainnya kita. Dunia dan perkembangannya mengalihkan bermainnya kita. Dan tiba-tiba kita menjadi seseorang yang lain, yang berbeda dengan masa kecil kita ketika kita masih suka bermain. Cobalah sekali waktu perhatikan ketika anak-anak mengajak temannya, “Main yuk”, dan mungkin saat itu kita akan merasakan ada sesuatu yang hilang pada diri kita.
Saya sampai kepada sebuah kesimpulan, paling tidak untuk saat ini, bukan semua alasan dan tujuan yang disebut di atas yang membuat saya berlari. Saya gemar bermain, karenanya saya berlari. Saya merindukan masa kanak-kanak, karenanya saya berlari. Saya menikmati hidup, karenanya saya berlari. Saya hidup, karenanya saya berlari. Saya berlari bukan karena “kenapa-saya-berlari”, tetapi karena “karenanya-saya-berlari”.
“There are thousands who run to hear leaves and listen to rain and look to the day when it all is suddenly as easy as a bird in flight. For them, sport is not a test but a therapy, not a trial but a reward, not a question but an answer.”
NH