Fei terduduk lunglai, meluruskan kedua kakinya di pinggir jalan sepi beraspal. Sebentar saja kaki dan pantatnya terasa hangat, buru-buru dia bergeser keluar aspal, ke segumpal kecil rumput liar yang tumbuh di antara bebatuan dan tanah merah kering. Sebatang pohon rindang telah menyelamatkannya dari berkilo-kilometer aspal panas hanya dengan hamparan savana di kanan kirinya. Paling tidak untuk sementara waktu. Seolah terik dari tiga matahari pukul sembilan siang menjilatkan ujung-ujung api ke wajahnya, menyedot kering cairan di dalam tubuhnya. Hanya tersisa setengah botol air mineral di kantong depan camelback-nya. Sementara kantuk dua malam yang berhasil ditaklukkan, kini sudah tidak mampu lagi dilawannya, menyerah. Angin panas berhembus sepoi. Kepala dan kelopak matanya berkali-kali ditarik gravitasi. Terasa sangat berat. Fei terpejam.
Sebuah motor melaju perlahan di sampingnya, “Bang, baik-baik saja?”
Fei membuka mata, berkedip-kedip, dan mengacungkan jempol tangannya.
Motor kembali melaju, “Semangat, Bang, sudah tidak jauh.”
“Terima kasih,” gumamnya, nyaris tak terdengar.
Ya, seharusnya 17 kilometer tidak jauh dibandingkan dengan 303 kilometer yang telah dilaluinya. Berlari, atau mungkin lebih banyak berjalan. Dengan malas, Fei bangkit, membasahi bibir dan dua teguk air mengalir melalui tenggorokannya, kembali berjalan. Mencoba berlari, hanya beberapa ratus meter, kembali berjalan. Ada rasa perih di kedua telapak kakinya sejak tadi, dia merasakan blister, tapi enggan untuk memeriksanya. Panas dan keringat tentu sudah menyiksa habis telapak-telapak itu. Dalam terik, dalam kantuk, dalam lelah, dalam dendam, dalam geram, dalam sedih, dia terus berjalan. Diselingi berlari sebentar. Dia hanya berharap dapat segera melihat gapura finish, menuntaskan kesendiriannya setelah enam puluh satu jam di jalanan. Itu saja. Ya, apalagi.
Sayup-sayup suara pembawa acara membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Di latar, suara Freddie Mercury terdengar lantang, We Are The Champion. Heart rate-nya mendadak melonjak, tertinggi selama tiga hari tiga malam ini. Fei menarik napas panjang, ingin sekali dia berteriak. Sekencang-kencangnya. Melangkah sedikit lebih cepat sambil mengumpulkan sisa tenaga terakhir untuk berlari mencapai garis finish. Dua ratus meter kemudian, Fei berbelok ke kiri dan berlari, terpincang-pincang. Otot paha dan betisnya mengeras, tetapi dia sudah tidak peduli. Pembawa acara meneriakkan namanya, penonton di kiri kanan bertepuk tangan, bersorak meneriakkan namanya. Tidak terlalu ramai sebenarnya, tetapi cukup untuk membuatnya seolah-olah satu stadion sepakbola bergemuruh, atau bahkan satu semesta.
Begitu melintas di bawah gapura, Fei menjatuhkan diri, berlutut, kedua tangannya terkepal ke karpet merah menyangga tubuhnya, menunduk dalam-dalam, matanya merah. Dan dia merasakannya basah. Panitia tampaknya membiarkannya sesaat menikmati kesendiriannya, kemenangannya, keberserahannya. Pembawa acara masih terus meneriakkan namanya, riang dan bergetar. Seorang panitia akhirnya berjalan bergegas menghampirinya, membawa sebuah medali. Fei mengangkat wajahnya, memandang ke sekeliling. Puluhan mata menatapnya, kagum bercampur lirih. Fei bangkit berdiri. Sebuah tatapan menarik perhatiannya, tatapan lekat dari sepasang bola mata yang hitam dominan ada di sana. Perempuan itu.
***
Ketika Fei membuka matanya, kali ini wanita berpakaian putih biru telah berdiri di samping ranjang. Memandangnya sebentar dan tersenyum.
“Sudah selesai, Pak Fei.”
Mempersilakannya duduk, kemudian melepaskan elektroda pad di pelipis dan plester di belakang telinga Fei.
“Semoga menyenangkan. Sampai bertemu kembali, Pak Fei.”
Begitu menuruni satu per satu anak tangga bangunan itu, Fei masih mencoba mengurut-urut kembali mimpinya tadi. Keinginan untuk mengikuti lomba ultra marathon terganas di Asia Tenggara itu memang menjadi mimpinya, yang di dunia nyata dia tahu tak mungkin dilakukannya. Cidera retak lutut telah menghancurkan kegemarannya berlari dan dokter hanya menganjurkannya untuk berenang. Baginya, sebuah ultimatum gampangan yang tanpa ke dokterpun dia tahu, klise. Pernah sekali waktu dia mengabaikan itu, mencoba berlari dua atau tiga kilometer di kompleks stadion. Akibatnya nyeri dan bengkak membuatnya terpincang-pincang hampir seminggu. Mencoba kembali bulan depannya, dan kembali sama akibatnya. Dan Fei menyerah.
Ketika melangkah masuk bangunan tadi, dia telah membulatkan tekadnya untuk bermimpi lomba lari yang sudah pasti hanya ada di awang-awangnya itu. Kunjungan kedua, atau tepatnya percobaan kedua, setelah mimpi menjadi penyanyi jalanan sebelumnya. Dan sekarang dia merasakan kepuasan membayangkan kembali kejadian sepuluh menit lalu, sebuah mimpi lima belas menit. Mimpi yang selalu diidamkannya di kamar apartmentnya, namun tidak pernah terwujud. Mimpi yang bisa diprogram. Mimpi yang seolah menjadi nyata. Fei tersenyum sendiri.
Tiba-tiba Fei merasakan dadanya mengetuk-ngetuk. Perempuan itu. Perempuan yang sama ketika bulan lalu dia di ruang yang sama pula. Lokasi kejadian mimpi yang berbeda, peristiwa yang berbeda, orang-orang yang berbeda, tetapi perempuan itu hadir di kedua mimpinya. Perempuan dengan sepasang bola mata yang hitam dominan.
NH