Anakku,

Apa kabarmu? Musim dingin di negaramu tengah berlangsung bukan? Tinggal di negara dengan empat musim dan menjalaninya sepanjang tahun, selalu menjadi impianku. Melalui satu per satu musim, duduk di taman menyaksikan perubahan sebatang pohon dan daun-daunnya. Tunas, semi, rontok, dan dibekap salju, hingga bertunas kembali. Urutan demi urutan. Perjalanan hidup demi perjalanan hidup.

Bicara soal urutan, Aku ingin bercerita sepenggal, Nak. RuntoCare Aceh 250K, hari ketiga, 20 November 2019, etape ketiga, etape terpanjang, 74K. Dalam kondisi mengantuk, lelah, lapar, kuyup, setelah didera panas dan hujan bergantian sejak dini hari, sekitar pukul 8 malam, langkahku mencapai puncak bukit Gunung Geurutee. Suasana kelam, jalanan kendaraan dua arah yang tidak terlalu ramai, tetapi juga tidak terlalu bersahabat, secercah sinar terlihat di kejauhan. Teman-teman SOS Children’s Village yang tidak kenal lelah telah menunggu. Belum finish, hanya sebuah mobil, sebuah water station mobile. Ketika mendekat, dalam remang disambut wajah-wajah tersenyum, sekaligus prihatin.

“Teh manis, Om?”

Adakah yang lebih manis dari tawaran manis teh manis hangat itu? Tentu saja tidak ada. Tawaran terbaik! Aku mereguknya, air surga hangat mengalir perlahan membasahi tenggorokan dinginku.

“Pisang, Om?”

Apa yang ada di pikiranku?
Apa yang ada di pikiranmu?

Pisang goreng? (Sequel dari teh manis, bukan?) Dan itulah yang ada di otakku, yang mengisi seluruh rongga sudut-sudut kepalaku.

Adith, pemuda Aceh baikhati yang mencintai para pelari itu, menyodorkan pisang. Bukan goreng, tetapi buah…!

Ya, sebuah pisang segar! Aku seolah ingin terjun ke jurang dalam di sisi kiriku, terhempas ke karang, diseret gulungan gelombang dan ditenggelamkan Samudra Hindia. (Agak lebay sih.) Aku menggeleng, menolak lemah, beranjak kembali menembus gelap menyelesaikan sisa dua jam lebih akhir perjalananku malam itu.

Tentu saja Adith tidak bersalah. Mana mungkin ada orang dengan niat baik bersalah? Yang salah adalah kepalaku, mauku, ekspektasiku, yang berpikir dan berharap temannya teh manis hangat adalah pisang goreng.

Urutan. Ya, kuberpikir, andai saja buah pisang yang ditawarkan dahulu, mungkin tidak ada “drama” ini, tetapi karena teh manis hangat yang disodorkan dahulu, buah pisang seolah membuyarkan pisang goreng. Urutan.

Anakku,

Hidup adalah soal urutan. Aku terlahir di urutan kelima dalam keluargaku, bukan anak pertama ketiga atau ketujuh. Urutan yang membawaku ke diriku sekarang ini, bukan seseorang yang lain. Aku seolah “diurutkan” untuk menjabat direktur bursa pada periode 2015-2018, bukan pada dua periode sebelumnya, dimana Aku gagal pada saat pemilihan. Bayangkan kalau terjadi “salah urutan” di dua hal itu saja, tidak akan pernah ada nama “Nicky”, tidak di lingkungan yang membesarkanku, tidak menangani pengembangan bursa, tidak pernah ada tulisan ini, dan tulisan-tulisan lainnya. (Aku bahkan tengah membayangkan urutan penciptaan, kalau saja Eva hadir terlebih dahulu -dan kitalah, lelaki, tulang rusuknya- entah bagaimana nasib Adam, dan nasib kita saat ini.)

Minggu lalu, salah satu pertanyaan menggelitik terbesarku terjawab. Tidak penting-penting amat, tetapi sesuatu. Pernahkah kau melihat tarian ratusan bahkan ribuan burung di udara? Atau paling tidak melalui layar kaca? Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana burung-burung itu berkomunikasi dalam hitungan sepersekian detik ketika terbang manuver, tanpa saling bertabrakan. Ternyata ada pakem, ada aturan, ada urutan yang mesti mereka ikuti, dan itu menghindarkan mereka menabrak satu dengan yang lain. Hasilnya, tarian indah angkasa laksana ballerina itu.

Aku lantas berpikir, tampaknya, segala sesuatu di alam semesta memang memiliki urutan, bahkan untuk hal yang kita anggap acak sekalipun. (Ingat ini, Nak? “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya?” Ada urutannya.) Mungkin kita saja, manusia, belum mampu mengurai. Aku tak tahu. Mungkin juga banyak hal belum terungkap karena memang belum waktunya, belum sampai urutannya.

Anakku,

Tidak perlu terlalu dibawa berpikir jauh apa yang kutulis. Hanya sebuah tulisan, serial dan urutan dari surat-suratku terdahulu. Nikmati saja. Seperti menikmati salju-salju yang melayang jatuh perlahan ke bumi, membeku dan mencair pada waktunya. Dan pada waktunya juga, aku akan hadir di sana. Mungkin sambil merenungkan kembali perkara urut-urutan ini.

Salam songsong urutan duapuluhduapuluh,

Ayah

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

2 replies on “SURAT UNTUK ANAKKU (15)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.