Gadis cilik berumur tujuh tahunan itu melepas sandal jepitnya, menyelipkannya di antara jari-jari mungilnya. Dengan bertelanjang kaki, dia berlari mengikuti langkah-langkah panjang kami. Perlahan meninggalkan belasan bocah-bocah lelaki sebayanya yang tampak keteteran, hanya menyisakan satu saja yang masih berlari kencang di depan.
“Mau kemana?”
“Bayan, Azura.”



Tujuan kami, Masjid Kuno Loloan, masih empat puluh kilometer ke depan. Setelah menempuh dua puluh kilometer pertama, sejak dini hari, pukul 05:57, 19 Juni 2021, selepas Bupati Lombok Utara mengibarkan bendera start di kantornya di Tanjung. Rombongan kecil pelari meniti aspal sepanjang pesisir pantai, menyaksikan pesona semburat aneka warna lembayung pagi, menghirup angin sepoi laut. Beristirahat di check point pertama, SDN Kayangan, dengan suguhan kelapa muda, buah pisang, ubi rebus, minuman hangat dan dingin. Serta prosedur wajib, mengukur tekanan darah dan kadar oksigen darah. Bapak Kepala Sekolah yang tadi menyambut ramah, kembali melepas kami di gerbang sekolah. Azura dan teman-temannya yang sedang bermain di jalanan berhamburan, ikutan berlari bersama kami.

Setelah sekitar satu kilometer, menjauh dari pemukiman, aku meminta Azura berhenti, pulang ke Kayangan. Bocah pelari kencang di depan juga sudah berhenti, sedang menunggu di bawah pohon rindang, lantas bergegas kembali bergabung dengan gadis rambut sebahu itu. Kami melanjutkan perjalanan, meninggalkan gadis cilik itu, dan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya.



Azura mungkin tidak mengerti apa yang sedang dilakukan empat Laskar Pelari ini, Adita, Carla, Erry, dan Nicky, ditemani Januar, Bliagus, Etha, dan Romi, berlari sejauh 60K, dari Tanjung ke Bayan, Lombok Utara. Azura belum mengerti berapa besar angka donasi miliaran rupiah yang telah dikumpulkan, yang digagas perkumpulan IOA melalui charity run Lombok Bangkit untuk pelatihan guru-guru di sana. Azura kecil mungkin juga tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan keluarga dan kediamannya, tiga tahun lalu, Agustus 2018, ketika gempa bumi beruntun, ratusan kali, telah memakan korban ratusan jiwa, meluluhlantakkan ribuan rumah di kabupaten termuda di pulau Lombok, yang baru berusia tiga belas tahun itu.
Aku melambaikan tangan, tidak sempat menengok ke belakang ke arah Azura. Hanya mengarahkan pandangan ke depan, menyusur kembali aspal, perjalanan masih jauh. Pukul 09:30 lewat sudah, di atas kepala, langit cerah. Langit biru. Seperti arti nama Azura.
Sementara otot di balik kedua ujung pahaku tiba-tiba terasa ada yang mulai menarik-narik.

NH
📸: @melani.rohi