Aku siap dalam kostum lari. Sepatu, celana, kaos, dan selapis kaos tangan panjang lainnya di luar, serta topi kupluk. Namun aku tidak berniat untuk berlari. Aku memutuskan hanya ingin berjalan, perlahan dan menikmati, sepanjang lima kilometer ke arah timur, ke Steinkiste, menyusur bukit naik turun searah garis pantai pulau, Isle of Raasay.
Rumah-rumah penduduk dusun bertembok putih-abu dan beratap hitam, berjarak antar satu dan lainnya, tampak lengang. Tidak tampak penghuninya, tidak juga ada yang aku temui sepanjang jalan. Hanya kelinci-kelinci yang muncul dan kemudian menghilang kembali ke balik rerumputan.
Pohon-pohon cemara berdiri kokoh, menjulang langit. Anggrek-anggrek ungu tumbuh bebas di tepi jalan, di sisi tebing, berbaur dengan hamparan bunga-bunga kecil kuning sejenis globeflower yang tumbuh liar.
(Waktu usiaku sekitar 8 tahun, tanteku yang seorang biarawati, setiap kali berkunjung ke rumah kampungku, selalu membawakanku oleh-oleh gambar-gambar postcard rumah, dusun dan pemandangan semacam ini. “Wherever you are, and whatever you do, be in love.” ~ Rumi)
Read More