Anakku,
Aku menulis lagi, untukmu, terpaksa. Aku sedang khawatir. Sangat khawatir. Takut. Mungkin juga sedih. Dan aku butuh kamu, sekarang. Paling tidak mendengarku. Maafkan ya Nak, itu nasibmu.
Tadi pagi – juga semalam, setelah mendarat – sebelum pesawat tinggal landas, aku membaca banyak berita, chatting, kutipan sanasini, yang berisi kekhawatiran dan ketakutan mengenai bursa saham yang sudah turun lebih dari 7% sejak awal tahun. Dan itu terjadi hanya karena penurunan dalam waktu seminggu terakhir ini saja. Dikatakan, investor asing telah melakukan penjualan lebih dari Rp 32 trilyun selama 2018. Belum ada sinyal positif apapun bahwa pasar saham akan berbalik positif. Seolah kita semua sedang berjalan dalam lorong hitam, tanpa ada setitik cahayapun di ujung sana.
Bukan Nak, bukan. Jangan khawatir dengan rencana kuliahmu. Kamu tetap akan kuliah kok. Kamu tahu aku adalah seorang investor, jangka panjang. Panjang banget. Bahkan kalau memungkinkan, melampaui usiaku. Angka-angka di atas sama sekali tidak menggangguku, sama sekali. Tidurku tetap nyenyak, makanku tetap banyak. (Minggu ini aku makan masakan ikan woku di Manado, sashibi tuna segar di Bitung – ya, sashibi, sashimi bitung – pakai kecap dan singkong rebus, yummy. Juga sop sumsum sipirok di Medan, edun. Plus rawon Rampal di Malang yang enak banget itu. *mana ya sepatu lariku?)
Aku hanya khawatir dengan para investor. Seberapa teguh mereka memegang prinsip investasinya, jangka panjangnya. Seberapa lelap tidur mereka, seberapa nikmat setiap suapan makanan mereka, seberapa nyaman hari-hari ini mereka jalani. Seberapa besar berita-berita itu, chatting-chatting itu, kutipan-kutipan itu mengganggu mereka. Terutama segala komentar, analisa dan ulasan abal-abal sok tahu tidak bertanggung jawab asbun yang beredar. Huh!
Tetapi Nak, aku selalu berusaha berpikir (dan bertingkah) positif. Di sisi lain, sebenarnya aku melihat ada hal yang sungguh luar biasa. Hari-hari ini adalah masa terbaik untuk seorang investor belajar. Inilah Kawah Candradimuka yang akan menempa mereka. Layaknya kawah yang menempa jabang bayi Tutuka, untuk saatnya nanti menjadi seorang Gatotkaca, anak Bima yang bahkan bisa menaklukkan musuh para dewa. Setiap investor memang sebaiknya dan seharusnya menjalani masa-masa ini, sebelum meraih gelar master investornya. Di balik kekhawatiranku, aku berharap dan berdoa, dan optimis mereka lulus ujian ini. Amien.
Nak, dulu, tahun 1998, sebelum kamu lahir, bursa saham pernah rontok 37%, akibat krisis ekonomi. (Banyak cerita horror, selain hanya soal saham, pada masa itu. Krisis ekonomi yang berubah menjadi krisis keamanan sosial politik, dan negara.) Setahun kemudian toh pasar pulih dan mencetak kenaikan 70%! Tahun 2008, sepuluh tahun kemudian, pasar saham turun tajam lagi, bahkan lebih tajam. Dan biang kerok krisis kali ini adalah dari Amerika Serikat sana, lha kita malah turun lebih parah dibanding 1998, 50%! Padahal kondisi negara kita tidak sesulit dan serumit 1998 itu. Terlalu kan? Tahun berikutnya apa yang terjadi? Coba tebak. Naik? Yup, pinter! 87%!
Tahun ini, 2018, sepuluh tahun kemudian. Wait, kelipatannya 10 tahun? Krisis setiap 10 tahun? Benarkah ada itu? Entah, ayahmu bukan orang pintar, Nak. Jangan tanya lebih jauh soal siklus itu ya. Please.
Lalu kalau sekarang “baru” turun 7%, apa yang perlu dikhawatirkan? (Oh ya, Kawah Candradimuka panasnya setara dengan tujuh kali panas api.) Turun lebih banyak pun, toh tahun depan akan naik, bukan begitu? Itu kalau kita percaya “History repeating itself”. Kalau tidak? Sayang, buka lagi ya surat-suratku sebelumnya. So why worry? Bukannya malah “Time to buy!”? Ah, sayangnya aku tidak bisa menambah investasiku bulan ini. Uangnya terpakai untuk traktir kamu nonton “Avengers : Infinity War” sih.
Ya wis, tunggu aku pulang, besok sore kita nonton bareng ya.
Salam Rawon,
Ayah