“Coba kita hitung kembali berapa banyak panen raya seharusnya memperkaya kita, mensejahterakan kita.

Coba kita hitung kembali berapa banyak panen raya yang sia-sia karena gaya hidup kita, tergiur handphone baru, motor baru, mobil baru.

Coba kita hitung kembali berapa banyak panen raya yang sia-sia karena kebodohan kita, menyerahkan hasilnya kepada penipu-penipu dengan iming-iming keuntungan berlipat ganda?

Berapa banyak yang sia-sia?
Berapa banyak suka jadi duka?

Panen raya sudah dimulai, mari kali ini selamatkan keluarga dari kesia-siaan dan mulai siapkan masa depan untuk terus sejahtera.

Dengan cerdas investasi, kita tidak akan tertipu lagi.”

Satu dari Empat Sekawan – Wawan, Reva, Rian, Nasir – membaca dalam tenang, di depan puluhan warga. Inilah empat pemuda, dengan latar belakang berbeda, tetapi berasal dari satu kecamatan yang sama, Sidomulyo, Lampung Selatan. Dan satu cinta yang sama, cinta desanya, cinta kampung halamannya, cinta warganya. Berjuang tidak mudah, berkali-kali, meyakinkan kepala desa dan masyarakat untuk belajar dan menerima investasi yang satu ini. Produk bodong selama ini telah meluluhlantakkan mereka, tidak hanya sekaliduakali, namun hingga tigaempatkali. Trauma. Dan delapanpuluhlima persen warganya adalah korban! Aku terkejut dan sedih.
(Kisah-kisah sedih, seperti juga daerah-daerah lain. Yang warganya meminjam uang dari bank untuk “diinvestasikan”, pelakunya menghilang, dan yang tersisa hanya hutang dan setumpuk kewajiban, entah sampai kapan. Yang uang untuk berobat cuci darahnya dipercayakan, namun ditipu, dan akhirnya meregang nyawa dan meninggal dunia. Ya, sedih sekali.)

Terimakasih kalau pintu yang diketuk empatkali, akhirnya terbuka, dan itu dimulai dari Desa Sidorejo. Sejak Februari tahun ini, belasan kali Teman-teman Kantor Perwakilan BEI di Bandar Lampung melakukan sosialisasi, bolakbalik menyusuri dua jam perjalanan Trans Sumatera yang selalu sibuk dengan angkutan-angkutan besarnya. Karena warga harus bekerja di kantoran, atau ladang, atau sawah, jadilah kegiatan hanya dapat dilakukan di malam hari. Kadang harus berganti hari, sampai jam 1 pagi. Lesehan di halaman rumah, dengan tenda dan penerangan seadanya. (Dan Pak Kepala Desa merelakan kantornya diubah menjadi galeri investasi, mengungsi ke pojok kiri bangunan kantor kelurahannya.)

Tanggal 15 Mei 2018. Lahirlah Desa Nabung Saham, Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Empat dari seratus investor saham yang lahir dari desa itu, pagi itu berdiri di panggung di Gedung Serba Guna, memberikan kesaksian, mengajak warga lainnya, juga desa lainnya. (Dan Pak Camat tergerak, langsung membuka rekening. Selamat datang, Pak!)

Pak Subur, “seniman” yang mengaku (dipaksa mengaku sih) pernah tertipu dan tidak mau tertipu lagi, mulai menata kembali masa depannya. Bu Rita yang mengajak ibu-ibu lainnya untuk tidak kalah dengan bapak-bapak (Lho Bu, kok jadi isue gender gini? Hahaha, setuju Bu, mari kita kalahkan bapak-bapak itu!). Pak Aank yang berencana – Insya Allah – menyisihkan Rp400ribu setiap bulan, agar punya investasi Rp600juta di umur 60 nanti. Pak Jumali “peladang” yang mengaku tua (40an mah belum tua, Pak. Saya pan 40an jugak…) dan yang (salah satu) saham perusahaannya setiap pagi Anda lihat setiap kali masuk toilet. (Besok pagi, ketika gosok gigi dan itutuh, ingatlah, Anda sedang memakai produk yang salah satu pemiliknya adalah seorang peladang di desa Sidorejo, nun jauh di sana.)

“Pepohonan mulai hijau kembali
Senyum lebar terhias di masyarakat ini
Tak kala informasi datang di desa ini
Peluang hidup masyarakat bersemi kembali

Ucapan dan kata kiasan tak bisa terucap lagi
Untukmu, oh BEI
Kerjakerasmu
Keteladananmu
Informasimu
Kau tebarkan tanpa pamrih

Terimakasih untukmu, BEI
Terimakasih untukmu, pembimbing kami
Semoga jasa kalian untuk desa ini
Diridhoi Sang Illahi”

Kirana, nama yang indah, membacakan puisi di atas dengan jelas tegas menjiwai, dalam iringan petikan gitar. (Aku suka gerakan jari telunjuk gadis kecil itu, yang digerak-gerakkan ketika menyebutkan “tak bisa terucap lagi” dan “tanpa pamrih”.) Puisi yang diciptakan oleh salah satu warga – pernah menjadi korban produk bodong – dan sekarang sudah menjadi Investor Indonesia. Puisi itu adalah bingkisan terimakasih, tidak hanya untuk BEI, tetapi juga untuk seluruh warga desa.

Terimakasih kembali.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

2 replies on “PUISI ADALAH BINGKISAN TERIMAKASIH

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.