Seorang teman posting begini,
“If you wanna be an investor, be a simpleman. But once you decide to be a trader, be a superman”. ~ Nicky Hogan
Aha, sedaappp. Nuhun.
Itu bukan sindiran, percayalah. (Jujur.) Itu lebih kepada sebuah pernyataan, kalau tidak mau dikatakan sebagai sanjungan. Simpelnya seorang investor – versi saya – sudah dibahas bolak balik, tidak perlulah diceritakan lagi. Membosankan. Seperti membosankannya nasib seorang investor, menunggu dan menunggu. (“Don’t worry, the big money is in the waiting.”)
Teman saya yang trader melotot, tidak nyaman dengan tulisan saya, seolah saya memandangnya sebagai spesies berbeda. Sejujurnya, memang beda. Super. (Lagi, jujur.) Ya, menyisihkan lebih banyak waktu menganalisa dan memonitor, menguasai lebih banyak keahlian menganalisa dan kutakkatik, memainkan lebih banyak emosi perasaan naik dan turun. Tidak banyak dari kita yang mampu, bukan? Bisa yang satu, belum tentu bisa yang lain. Bisa semua? Apa namanya kalau bukan super? Saya kagum.
Mungkin tepatnya begini, seperti di beberapa kesempatan saya sampaikan lisan, orangorang yang tidak masuk di kedua kelompok spesies itu. Dan orangorang ini dalam bahaya besar. Niat awal untuk trading, mendadak jadi investor. Investor nyangkut. Gak rela rugi, gak rela cut loss, gak rela komitmen. (Jumlahnya banyak, kan? Minimal ada saya dan kamu.) Atau yang niat awalnya untuk investasi, mendadak jadi dagang. Takut untung. Lupa komitmen, lupa hari esok, lupa di atas langit masih ada langit. (Jumlahnya tidak kalah banyak, kan? Masukkan nama saya dan kamu.) Simpleman bukan, superman juga bukan. Apa namanya? Ordinaryman?
“A hero is no braver than an ordinary man, but he is braver five minutes longer.” ~ Ralph Waldo Emerson
NH